Kamis, 27 Januari 2011

AL-QIYAS IMAM SYAFI’I DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

AL-QIYAS  IMAM  SYAFI’I  DALAM
PERSPEKTIF  PEMBAHARUAN  HUKUM ISLAM




A.    Pendahuluan

        Sebagaimana diketahui, para ulama Islam sepakat bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan sumber ajaran yang asasi. Al-Qur’an sebagai salah satu Kitab Suci mengandung pokok-pokok ajaran Islam, termasuk hukum-hukum yang mengatur tata kehidupan . Akan tetapi kandungan al-qur’an tidak semuanya dapat dipahami  oleh pemangkunya dengan baik. Oleh sebab itu, diperlukan keterangan yang memperjelas kandungan Kitab Suci itu, supaya dapat dipahami segenap umat, sehingga dia dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan al-Syari’ (Tuhan pencipta syariat) yang menurunkannya. Untuk itu, Nabi saw, berupaya dengan sesungguhnya untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an melalui ucapan, perbuatan, dan taqrir (ketetapan)-nya.
        Bila kita melihat sejarah, sejak semula hukum Islam telah dihadapkan kepada proses perkembangan dan perubahan sosio-kultural yang senantiasa bergerak maju sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, lebih-lebih setelah penganut Islam meluas keluar Semenanjung Arabia, sekitar Laut Tengah sampai ke daerah seberang sungai (Ma’wara’ al-nahr) Amu Darya dan sir Darya, yang masyarakatnya mempunyai latar belakang budaya berbeda. Keadaan seperti ini senantiasa berlanjut sampai sekarang, ketika kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang demikian pesat, yang berdampak pula pada akselerasi perkembangan dan perubahan sosial budaya.
       Melihat keadaan demikian, wajarlah kalau muncul aliran penggalian hukum Islam, yang diantaranya al-ra’y yang berkembang di Lembah Mesopotamia, yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah (w. 150 H/767 M) adalah seorang ulama yang dikenal paling banyak menggunakan rasio dalam ijtihad, disamping tetap memegang hadis. Beliau dipandang sebagai pendiri mazhab Hanafi yang paling banyak menggunakan rasio.
        Hampir bersmaan dengan itu, perhatian pada hadis tetap kelihatan pada penduduk Madinah, yang momentumnya diperlihatkan oleh Imam Malik ibn Anas (w. 179 H/ 795 M). Dengan demikian, Imam Malik dipandang sebagai pemuka aliran (mazhab) ahli hadis.Al-Muwatta’ adalah karya monumentalnya dibidang hadis.
         Di tengah-tengah aliran tersebut (Ahl al-ra’y dan ahl al-hadis) tampillah Imam Syafi’i (150-204 H/ 767-812 M), yang pernah berguru kepada Imam Malik dan murid Abu Hanifah, yakni al-Syaibani. Pengalaman berguru kepada ulama kedua aliran tersebut memberikan inspirasi kepada Imam Syafi’i untuk mengambil segi positif dari kedua aliran yang berbeda.
        Diakui telah adanya metode-metode istinbat (penggalian ) hukum yang digunakan pada masa itu, antara lain, istihsan yang populer digunakan oleh Abu Hanifah dan istislah yang populer dipakai oleh Imam Malik, yang keduanya membuka peluang berpikir liberal tanpa kontrol. Lebih-lebih lagi metode penggalian hukum tersebut belum dibukukan, sehingga tidak diketahui dengan pasti aturan-aturannya. Ketika itulah Imam Syafi’i tampil mengemukakan metode ijtihadnya yang disebut Qiyas.
         Metode qiyas yang dikemukan Imam Syafi’i ini merupakan bagian dari keseluruhan  kajian usul fikihnya, yang meliputi dalil-dalil hukum, cara-cara istidlal dengan lafal, yang berwenang melakukan ijtihad, dan lain-lain, yang masing-masing dibuatkan kerangka teoritisnya secara logis, dalam bentuk kaidah-kaidah rasional, namun tetap praktis. Dengan demikian, lahirlah ilmu usul fikih, yang merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya dari Imam Syafi’i.
        Kitab yang pertama ditulis Imam Syafi’i tentang usul fikih ialah al-Rislah. Sesudah itu barulah ia menulis buku-bukunya Ikhtilaf al-Hadis, Ibtal al-Istihsan, Kitab Jama’i al-‘Ilmi. Atas dasar inilah Imam Syafi’i disebut sebagai “Bapak pendiri usul fikih” dan peletakan metodologi al-qiyas.[1]   

B.     Pembahasan
A.    Perubahan Sosial, Pembaharuan, Pembangunan, dan Hukum
1.      Perubahan Sosial

       Perubahan sosial, pembangunan dan pembaharuan berhubungan satu sama kain dengan erat, seperi yang terjadi di Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang. Perubahan sosial atau struktur dari komponen-komponennya, menimbulkan daya adaptasi yang lebih besar untuk memanfaatkan sumber-sumber daya yang berasal dari lingkungan fisik organismenya (fungsinya adalah adaptasi, yang mewujudkan diri dalam bentuk teknik-teknik untuk memanfaatkan lingkungan bagi kelangsungan hidup manusia seperti pemanfaatan teknologi dan aktivitas ekonomi).[2]
        Perubahan sosial secara umum menampakkan diri dalam bentuk perubahan yang menimbulkan akibat sosial yang sedemikian rupa, sehingga terjadi dalam bentuk, susunan serta hubungan yang berbeda dari yang semula ada. Dalam suasana perubahan sosial maka bagian-bagian atau sektor-sektor dalam masyarakat itu tidak sama cepatnya. Oleh karena adanya saling ketergantungan (interdependen) antara bagian-bagian itu, maka perubahan disaty bidang menimbulkan keharusan bagi dilakukannya penyesuaian oleh bagian yang lain, sehingga keadaan kembali bersesuian.
        Masalah hukum bisa dilihat sebagai suatu problem sosial, karena itu ia interpenden dengan problem perubahan sosial. Ini menunjukkan bahwa betapa problem perubahan sosial itu memberikan tekanan pengaruhnya terhadap hukum, dalam arti bahwa hukum harus senantiasa menanggapi problem tersebut.[3]
        Faktor yang bisa dikenali dalam hubungannya dengan awal perubahan sosial adalah :

a.       Kependudukan
b.      Habitat fisik
c.       Teknologi
d.      Struktur masyarakat serta kebudayaan.

2.      Perubahan Hukum
        Tuntutan bagi terjadinya perubahan hukum mulai timbul ketika adanya kesenjangan di antara keadaan, hubungan, dan peristiwa dalam masyarakat dengan pengaturan hukum yang ada.  Manakala kesenjangan tersebut telah mencapai tingkatnya yang sedemikian rupa, maka tuntunan perubahan hukum semakin mendesak.
         Ada beberapa kemungkinan untuk menafsirkan apa yang dimaksud dengan perubahan hukum ini :
a.       Perubahan dalam bentuk pemberia kongkrit terhadap norma yang abstrak, karena   memang fisik khas hukum untuk memberikan bentuk abstrak dan umum hal yang diatunya, sehingga terjadi pengaturannya  bisa bertahan lama.
b.      Perubahan peraturannya secara formal. Dalam bentuknya yang demikian, maka perubahan hukum itu merupakan fungsi bekerjanya berbagai faktor perubahan yang membebani hukum dengan berbagai permintaan.[4]
        Ringkasnya , perubahan hukum menurut konsep ini dapat dibedakan dalam dua bentuk :
a.      Perubahan penerapan tanpa mengubah ketentuan formalnya, karena tuntutan perubahan sosial, maka hukum dapat dipandang berfungsi sebagai Social control.
b.      Perubahan peraturan secara formal untuk mengubah struktur sosial, maka hukum dapat dipandang berfungsi sebagai social engeneering.

3.      Perubahan/Pembaharuan Hukum Iskam
       Dilihat dari sisi awal pertumbuhannya, maka kedatangan hukum Islam dapat dikata gorikan pada social engeneering dan social control, karena hukum Islam itu memberikan maknat terhadap tatanan yang masih dianggap relevan dengan nilai-nilai kemanusia (fitrah), mengubah tatanan lama jadi mapan, dan memproklamirkan tatanan baru bagi masyarakat yang dikehendakinya. Dalam proses pertunbuhannya (Masa Nabi) sering pula terjadi perubahan yang dikategorikan pada nasikh-mansukh, (jadi, hukum berfungsi sebgai social engeneering) yang sedikit banyak berkaitan dengan perubahan sosial.
         Perubahan ketentuan hukum  terhadap sesuatu peristiwa hukum, juga dimungkinkan karena terjadi perubahan pada unsur maddi (material, obyek hukum). Contohnya, Pada tahun 1962 ditemukan ikan-ikan (unsur material) di sepanjang sungau batang hari Jambi mengandung cacing/virus beracun yang membahayakan kehidupan manusia pemakannya, maka dihukumkan haram memakanny. Setelah memasuku tahun 1963, cacing virus tersebu hilang kembali, maka ikan sungai Batang Hari kembali halal dimakan, karena manat al hukm keharaman telah hilang.
        Perubahan hukum bisa pula terjadi, apabila perubahan pada unsur adabi (unsur moril, subjek hukum). Contohnya, setiap orang mrslim laki-laki yang dewasa boleh diinjeksi dengan obat anti biotik. Apabila salah seorang tudak tahan dengan obat itu (alergi) yang membahayakan jiwanya, maka diharamkan baginya menerima injeksi anti biotik. Tetapi ini tidak termasuk kategori perubahan hukuum, karena sifatnya merupakan pengecualian dari ketentua umum.
        Dengan memperhatikan awal pembangunan hukum Islam seperti dikemukakan itu, maka terlihat tiga dimensi  dan wawasan pengembangan hukum Islam. Pertama dimensi pemeliharaan, yaitu dimensi untuk memelihara tatanan hukum yang dipandang relevan dengan nilai-nulai kemanusian. Kedua diemesi pembaharuan, yaitu dimensi yang merupakanperubahan hukum lama untuk ditingkatkan dan disempurnakan. Ketiga dimensi proklamasi (penciptaan) hukum baru yang dikendaki untuk mewujudkan kemaslahatan.
        Dalam proses perubahan dan pembaharuan hukum Islam, perlu diperhatikan apa yang dikemukakan oleh Abd al-Wahab Khallaf[5] dan Muhammad Ali al-Sayis,[6] yaitu:
a.       Hukum yang bersumber dari nas yang sarih (tegas) dan qat’i terhadap objeknya (unsur material) yang tidak memberi peluang akal untuk menemukan hukumnya, selain dari hukum yang ditegaskan nas secara tertentu atau karena illatnya qasirah (terbatas pada hukum asl), maka tidak boleh dilakukan ijtihad (sehingga tidak mungkin berubah), tetapi harus mengikuti ketentuan nas, seperti ketentuan tentang beberapa kewajiban dasar: salat, zakat, puasa dan haji.[7]
b.      Hukum yang sumbernya nas yang zanni al-dalalah terhadap objek hukum dan terdapat peluang bagi akal untuk berijtihad (mencari objek lain yang ditunjuki juga oleh nas itu), maka dibolehkan berijtihad untuk mencari sasarannya yang tepat, tetapi terbatas pada pemahaman nas dan tidak boleh keluar dari jangkauannya, seperti kebanyakan hukum tentang muamalah.
c.       Hukum yang sumbernya bukan nas tetapi telah terjadi kesepakatan tentang hukum sesuatu objek tertentu (ijmak), maka di sini pun tidak terdapat peluang berijtihad selain mengkaji kebenaran terjadinya ijmak itu, seperti memberi hak warisan 1/6 (satu per enam) kepada nenek.
d.      Hukum yang sumbernya bukan nas tertentu terhadap sesuatu objek hukum tertentu, seperti kebanyakan dari hukum fiqiyah dalam berbagai aliran/mazhab, maka di sini terbuka peluang berijtihad mengkaji ulang dimana terbuka kemungkinan terjadinya perubahan hukum sejalan perubahan sosial. Dalam kelompok ini peristiwa-peristiwa baru yang belum terjamah oleh ijtihad ulama masa lalu, contohnya: menetapkan hukum haram pemakaian alatkontrasepsi vasektomi dan tubektomi yang mengakibatkan kemandulan abadi (ta’di al-nasl) dan mengubahnya menjadi halal apabila alat tersebut tidak lagi mengakibatkan kemandulan.
       Dalam perspektif sejarah, pembaharuan hukum Islam menurut Noel J. Coulson, menampakkan diri dalam empat bentuk:
a.       Dikodifikasikannya (yaitu pengelompokan hukum yang seejenis ke dalam kitab undang-undang) hukum Islam yang menjadi perundang-undangan negara, yang disebut sebagai doktrin siasah;
b.      Tidak terikatnya umat Islam pada hanya satu mazhab hukum tertentu, yang disebutnya doktrin takhayyur (seleksi) pendapat mana yang paling dominan dalam masyarakat;
c.       Perkembangan hukum dalam mengatisipasi perkembangan peristiwa hukum yang baru timbul, yang disebut doktrin tatbiq (penetapan hukum terhadap peristiwa baru);
d.      Perubahan hukum dari yang lama kepada yang baru yang disebut doktrin tajdid (reinterpretasi).[8]

B.     Peranan al-Qiyas Konsep Imam Syafi’i terhadap pembaharuan Hukum Islam

1.      Peran al-qiyas
       Peran al-qiyas dalam mengungkapkan hukum dari sumbernya, al-Qur’an dan al-Hadis, sangat besar, mengingat bahwa:
    1.    nas (al-Qur’an dan al-Hadis) terbatas dan berakhir, sementara peristiwa yang dihadapi manusia (yang pasti ada hukumannya) tidak terbatas dan berlanjut terus.
    2. Al-Qur’an dan al-Hadis sebenarnya berpotensi menampung (memiliki daya tampung terhadap) berbagai peristiwa yang tumbuh dan berkembang melalui kaidah umumnya sehingga mujtahid dapat menggali/ mengungkapkan hukum dari padanya melalui ijtihad dengan berbagai metodenya. Metode yang amat jelas, tepat dan kuat adalah al-qiyas. Kaidah umum itu, misalnya larangan menimbulkan kerusakan dimuka bumi. Ini berartu para pakar terutama instansi berwenang membuat aturan preventif bagi terjadinya kerusakan, yang bentuknya disesuaikan dengan kondisi setempat. Contohnya untuk menghindari terjadinya kecelakaan di jalan raya perlu dibuat peraturan yang bersifat teknis mengenai penggunaan jalan raya, apakah berjalan sebelah kiri, berjalan sebelah kanan, berjalan sebelah atas atau bawah sesuai dengan kondisi masing-masing.
    3. Dengan demikian, al-qiyas berperan menggali hukum yang dikandung nas, sebagai  perpanjangan tangan nas dalam mengungkapkan dan menjabarkan hukum yang  dikandungnya.


2.      Peran al-Qiyas Imam Syafi’i

       Konsep al-qiyas Imam Syafi’i diuraikan dalam kitabnya al-Risalah sebagai berikut :
a.“Semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan  seseorang muslim, tentu ada    hukumnya yang pasti, atau menurut jalan yang benar terdapat petunjuk tentang hukumnya. Berdasarkan hal itu, apabila terdapat ketentuan hukumnya dengan kongkrit maka haruslah diikuti; dan apabila ketentuan hukumnya tidak terdapat secara kongkrit, haruslah dicari petunjuk yang benar tentang hukumnya dengan ijtihad itu adalah al-qiyas.”[9]
 b.“Maka tidaklah terjadi suatu peristiwa yang dihadapi penganut agama Allah, melainkan di dalam al-Qur’an terdapat petunjuknya tentang     pemecahannya.”[10]
c.“Dan al-qiyas itu ditinjau dari dua segi: pertama bahwa suatu peristiwa baru   (far’) sama betul dengan makna asl, maka dalam hal ini al-qiyas tidak akan berbeda;  kedua bahwa sesuatu peristiwa mempunyai suatu kemiripan dengan beberapa makna pada beberapa asl, maka peristiwa itu dihubungkan dengan asl yang paling utama dan lebih banyak kemiripannya. Dalam segi yang kedua ini sering terjadi perbedaan pendapat para pelaku al-qiyas.”[11]

        Dari ungkapan a, dapat disimpulkan bahwa setiap peristiwa yang terjadi ada ketentuan hukumnya. Ketentuan hukum  ada yang sarih dan ada pula yang tidak sarih yang harus dicari dengan ijtihad yaitu al-qiyas. Jadi al-qiyas berperan mencari hukum peristiwa yang baru terjadi. Ini menunjukkan bahwa al-qiyas Imam Syafi’i berperan besar mencari hukum peristiwa baru yang senantiasa berkembang.
         Dari ungkapan b, dapat disimpulkan bahwa dalil hukum adalah al-Qur’an. Ini menegaskan bahwa rujukan pencarian hukum oleh al-qiyas tidak boleh keluar kaitannya dari nas. Sedangkan ungkapan c membuka kemungkinan berbedanya hasil hukum yang dicari mujtahid dengan al-qiyas.
a.       antara dua orang mujtahid terhadap hukum satu peristiwa far’, disebabkan perbedaan persepsi dalam memilih ma’ni (illah) yang lebih mirip atau dalam menentukan illahnya.
b.      Berubah pendapat seorang mujtahid disebabkan ma’na yang paling mirip menurut persepsinya semula terjadi pergeseran atau perubahan pada far’.
      Jadi konsep al-qiyas Imam Syafi’i berperan dalam :
a.       Mengadakan pembaharuan hukum dalam arti mencari hukum peristiwa yang baru muncul yang belum ada hukumnya;
b.      Mengadakan perubahan hukum ijtihadi yang telah ada karena terjadi perubahan objek hukum;
c.       Dengan menggalinya pada nas (al-Qur’an dan al-Hadis al-sahih).
d.      Karena terdapat persamaan makna yang terdapat pada peristiwa baru (far’) atau mirip ma’nanya dengan ma’na yang terdapat pada asl (peristiwa yang disebutkan pada nas).
        Al-qiyas menurut konsep Imam Syafi’i lebih luas dari konsep al-qiyas mujtahid lainnya. Al-qiyas Imam Syafi’i (seperti al-qiyas ulama lain) menjadikan ma’na (illah) sebagai manat al-hukm yang menghubungkan hukum far’ dengan hukum asl, memandang  bahwa ma’na itu ada yang terdapat dari satu asl tertentu (al-nas al-khas) dan ada pula  yang terdapat pada beberapa asl lalu dipersamakan salah satunya yang lebih mirip dengan ma’na yang ada pada far’.
         Al-qiyas yang ma’nanya terdapat pada satu asl tertentu, dibaginya kepada:
1)      Ma’na pada asl lebih lemah dari ma’na pada far’ disebutnya al-qiyas al-awlawi.
2)      Ma’na pada asl sama dengan ma’na pada far’ disebutnya al-qiyas al-musawi. Al-qiyas al-awlawi dan al-qiyas al-musawi, tidak dipandang ulama lain sebagai al-qiyas, melainkan sebagai dalalah al-nas (Hanafiah) atau mafhum (Syafi’iah).
3)      Ma’na pada asl lebih kuat dari ma’na pada far’ disebutnya qiyas al-adna. Ini disepakati ulama memandangnya sebagai al-qiyas.

       Al-qiyas yang maknanya terdapat pada beberapa asl lalu diambil ma’na yang mirip dengan ma’na dan far’ atau ma’na asl yang dijadikan syar’i sebagai jins al-ma’na yang masuk pada jins al-hukm, dibaginya kepada:
1.      Diambil ma’na asl yang paling mirip dengan ma’na far’ disebutnya qiyas al-syabah. Ini disepakati ulama dalam memandangnya sebagai al-qiyas.
2.      Diambil jins ma’na al-asl yang masuk dalam jins al-hukm, kemudian ternyata bahwa ma’na pada far’ merupakan nau’ dari jins ma’na asl, maka dihubungkanlah hukum far’ ke dalam jins hukm al-asl.

        Ini dipandang ulama lain bukan al-qiyas, melainkan maslahah mursalah (Malikiah) atau mursal mula’im (Hanafiah) atau maslahah mula’imah (Syafi’iah dan Hanabilah). Dalam bentuk ini, wasf yang menjadi ‘illah/ma’na merupakan wasf  yang munasib mula’im/menerbitkan hukum.
        Dengan demikian al-qiyas Imam Syafi’i mencakup:
a.       qiyas al-adna (seperti al-qiyas yang dipergunakan ulama lain);
b.      qiyas al-syabah (dipergunakan juga oleh ulama lain);
c.       mafhum muwafaqah;
1)      awlawi
2)      musawi
d.      maslahah mula’imah[12]

C.    Penerapan al-Qiyas Imam Syafi’i terhadap Pembaharuan Hukum Islam
1.      Perlunya Pembaharuan Hukum

   Perlunya pembaharuan hukum atau perubahan hukum adalah untuk menanggapi  peristiwa baru yang bermunculan  atau menanggapi perubahan peristiwa hukum ijtihadi yang disebabkan perubahan makna. Seperti telah disebutkan bahwa kemajuan teknologi merupakan faktor yang kuat timbulnya peristiwa baru yang pasti ada hukumnya ataupun perubahan teknologi merupakan faktor pendorong kuat bagi timbulnyaperistiwa baru dan perubahan peristiwa lama.   
 Diantara peristiwa-peristiwa baru adalah:
    1. Transplantasi organ tubuh manusia;
    2. Transektual (penggantian kelamin);
    3. Bayi tabung meminjam rahim wanita lain;
    4. Vasektomi dan tubektomi dalam ber-KB.
    5. Penggunaan alat tekno;ogi canggih menggantikan tenaga manusia.

2.      Penerapan Al-qiyas

a.       Penerapan al-qiyas Imam Syafi’i menanggapi peristiwa baru tersebut diatas (pembaharuan hukum) dikemukakan dibawah ini secara berurutan:
1)      Transplantasi organ tubuh sebenarnya termasuk kategori jinayah qisas yang sudah ada hukum larangannya, firman Allah:






Dan kami tetapkan terhadap mereka didalamnya (al-Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luk  (pun) ada qisassnya.[13]

           Ketetapan tersebut kendatipun ditujukan kepada Bani Israil, tetapi terdapat pengakuan  Nabi tentang disyari’atkannya juga kepada umat Islam seperti yang diriwayatkan al-Bukhari dari Anas bin Malik bahwa al-Rabi’ ibn al-Nadar memecahkan gigi seri seorang pembantu rumah tangga, maka mereka mewajibkan al-Rabi’ membayar diyah, tetapi pihak pembantu meminta qisas. Lalu pembantu itu mendatangi Anas ibn Malik untuk bertanya kepada Nabi dengan katanya, “Ya Rasulullah apakah seri al-Rabi’ dipatahkan juga? (qisas) lalu Rasulullah menjawab:



         “Hai anas, menurut Kitabullah adalah qisas”.[14] 

        Ini menunjukkan bahwa qisas yang yang tersebut dalam Kitabullah ayat 45 surat al-Maidah tadi diberlakukan juga kepada al-Rabi’, yang mematahkan gigi pembantu rumah tangga tersebut.
         Dikenakan sanksi qisas terhadap perusak organ tubuh itu, adalah karena (‘illahnya) intihak karamah al-insani (merusak kemuliaan manusia). Karena dalam kasus pemindahan organ tubuh manusia ini (far’) terdapat pula ‘illah hukum haram merusak organ tubuh yaitu merusak kemuliaan manusia, maka hukum pemindahan organ tubuh ini dilarang juga, kecuali dalam keadaan darurat yang merupakan kaidah umum dalam membolehkan yang dilarang.

2)      Transeksual yaitu lelaki mengganti kelaminnya menjadi bentuk kelamin wanita atau sebaliknya wanita mengganti kelaminnya menjadi kelamin lelaki, merupakan peristiwa baru (far’). Hadis Nabi melarang seorang lelaki menyaru (menyerupai) wanita dan sebaliknya, dengan alasan (‘illah/makna dilarangnya) karena menyulitkan penentuan hukumnya. Hadis Nabi yang melarang lelaki menyaru wanita atau sebaliknya antara lain ialah yang diriwayatkan al-Bukhari dari Abdullah ibn ‘Abbas, katanya:







Rasullah mengutuk lelaki yang bertingkah laku wanita dan wanita yang bertingkah laku lelaki. Dalam riwayat lain Rasulullah mengutuk lelaki yang menyaru wanita dan wanita menyaru lelaki.[15]

      Hadis Nabi saw yang melarang merusak/mengubah ciptaan Tuhan, diriwayatkan oleh Imam al-Hadis yang lima, selai al-Tarmizi, dari Abdullah ibn Mas’ud, katanya:





“Rasulullah Saw., mengutuk wanita yang menyambung dan yang minta sambungkan rambut (cemara); mengutuk wanita yang mencukur dan yang minta cukur rambutnya menjadi turun ke mukanya; mengutuk wanita membuat celah antara gigi serinya atau mengasah gigi untuk kecantikan yang mengubah ciptaan Tuhan.”[16]

      Dikutuknya perbuatan menyaru lelaki-wanita (asl) ialah karena (‘illahnya) sulit membedakan dan menentukan apakah lelaki atau wanita dalam status hukumnya. Karena dalam kasus penggantian kelamin terdapat juga ‘illah/makna dikutuknya menyaru lelaki-wanita yaitu sulit menentukannya apakah lelaki atau wanita dalam status hukumnya, maka ia dihukum terkutuk juga . Mengingat ‘illah hukum pada far’ lebih kuat lebih kuat dari ‘illah hukum pada asl, maka mengganti kelamin lebih terkutuk (al-qiyas al-awlawi).
      Dilutuknya perbuatan membuat celah antara gigi seri dan mengasahnya (asl) oleh karena (‘illahnya) mengubah ciptaan Tuhan. Karena dalam kasus penggantian kelamin (far’) terdapat juga ‘illah dikutuknya membuat celah atau mengasah gigi yaitu mengubah ciptaan Tuhan, maka hukum mengganti kelamin terkutuk juga.
       Mengungat ‘illah hukum pada far’ lebih kuat dari ‘illah hukum pada asl, maka mengganti kelamin lebih terkutuk (al-qiyas al-awlawi).

3)      Bayi tabung dengan menitipkan sperma dan ovum antara suami-istri sah ke dalam rahim wanita lain (far’). Allah melarang zina (asl) dan Nabi melarang memasukkan sperma ke rahim wanita yang tidak halal bagi pemilik sperma (asl). Ayat yang menerangkan keharaman zina (asl) ialah firman Allah:




     dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.[17]
     
      Dilarangnya menghampiri zina (asl) karena (‘illat) zina itu perbuatan keji, dan cara yang buruk. Secara mafhum (al-qiyas al-awlawi) melakukan zina tentulah lebih keji. Karena ‘illah keji itu terdapat juga pada memasukkan sperma dan ovum suami istri ke dalam rahim yang tidak halal baginya, maka hukum melakukan bayi tabung dengan meminjam rahim wanita lain disamakan dengan hukum mendekati zina karena sama-sama keji dan buruk.
       Lebih lanjut hadis Nabi Saw, secara sarih yaitu hadis riwayat Abu Daud, al Turmizi yang dipandang sahih oleh Ibnu Hibban dari Ruaibi’ibn Sabit dari Nabi Saw.;[18]




       Menyatakan bahwa memasukkan sperma ke dalam rahim istri orang lain, diharamkan, sedang pada bayi tabung prosesnya sama dengan yang dilarang Nabi Saw, sehingga dilarang melakukan bayi tabung dengan meminjam rahim wanita  lain sama dengan hukum memasukkan sperma ke dalam rahim wanita lain, yang dilarang Nabi. Mempersamakan hukum praltek bayi tabung dengan cara memasukkan sperma ke dalam rahim wanita lain, adalah dengan jalan al-qiyas al-masawi, atau dalalah al-nas atau mafhum muwafaqah.

4)      Vasektomi dan Tubektomi dalam upaya Keluarga Berencana, membuat istri tidak melahirkan anak lagi (pemandulan permanen).
            Nabi Saw, melarang tabattul dan ihtisa. Larangan tersebut terdapat dalam Hadis  riwayat al-Bukhari dari Saad Ibn Abi Waqas katanya:[19]




      Ditemui ‘illah/ma’na dilarangnya karena dengan perbuatan tersebut lelaki/wanita mandul (tindakan meniadakan kelahiran). Pada kasus vasektomi dan tubektomi (sterlisasi) (far’), ‘illah/ma’na tersebut terdapat pula. Maka hukum vasektomi dan tubektomi sama dengan hukum tabbatul dan ihtisa yang dilarang.

5)      Sewaktu memasuki era pembangunan nasional, dipersualkan apakah memacu lajunya pembangunan digunakan teknologi padat modal yang mengurangi jumlah tenaga kerja atau teknologi pada karya (far’). Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya kemafsadatan berupa pengangguran yang pada gilirannya melakukan pekerjaan terlarang, seperti mencuri, menipu, merampok, melacur dan lain-lain. Semua akibat tersebut terdapat larangannya dalam nas (asl). Sesuatu yang dijadikan sarana (zari’ah) yang berakibat terjadinya yang dilarang Allah, maka hukumnya dilarang untuk sadd al-zari’ah.

       Karena itu , menggunakan alat teknologi canggih dalam kondisi tenaga kerja berlebihan (sarana) yang mengakibatkan terjadinya berbagai mafsadat, maka penggunaan alat teknologi canggih yang menimbulkan mafsadat itu dilarang berdasarkan zari’ah.

D.    Penerapan al-Qiyas Imam Syafi’i dalam Perubahan Hukum.
      Al-Qiyas Imam Syafi’i pun mampu berperan menanggapi perubahan hukum yang disebabkan terjadinya perubahan ‘illah/ma’na yang terdapat pada peristiwa/kasus baru.
       Dalam hubungan dengan kasus-kasus yang sudah dikemukakan diatas, maka penerapan al-qiyas Imam Syafi’i dalam penerapan hukum sebagai berikut:
a). Apabila alat kopnstrasepsi vasektomi dan tubektomi dapat diubah fungsinya berkat ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran baru, sehingga tidak mengakibatkan mandul abadi, maka ‘illah/ma’na “meniadakan kelahiran” sudah hilang pula; dengan demikian tidak terdapat lagi ’illah keharamannya. Ia dibolehkan kembali bagi mereka yang berhajat mengatur kelahiran.
b). Apabila hasil program keluarga Berencana mampu menekan jumlah kelahiran dan hasil pembangunan  ekonomi mampu memakmurkan, lalu terjadi perluasan lapangan kerja dan kurangnya jumlah tenaga kerja, (tidak ada lagi pengangguran yang mengakibatkan mafsadat yang dilarang), maka berdasar zari’ah dibolehkan mempergunakan alat teknologi canggih, yaitu fath al-zari’ah karena mengakibatkan kemaslahatan yang dibolehkan, yaitu terhindarnya mafsadat yang dilarang nanti.










Kesimpulan

        Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai barikut:
        Pertama, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perubahan dan pembaharuan hukum diawali dengan adanya perubahan sosial, yang meliputi; a. Kependudukan, b. Habitat fisik, c. Teknologi, d. Stuktur masyarakat dan budaya.
         Kedua, Perubahan Hukum di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: a. Perubahan penerapan tanpa mengubah ketentuan formalnya, karena tuntutan perubahan sosial, maka hukum dapat dipandang berfungsi sebagai Social control, b. Perubahan peraturannya secara formal untuk merubah struktur sosial, maka hukum dapat dipandang berfungsi sebagai sosial engeineering.
         Ketiga, dalam proses perubahan dan pembaharuan hukum Islam, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.       Hukum yang bersumber dari nas yang sarih (tegas) dan qath’i terhadap obyeknya (unsur material) yang tidak memberi peluang akal untuk menemukan hukumnya, selain hukum yang ditegaskan nas secara tertentu, maka tidak boleh dilakukan ijtihad, tetapi harus mengikuti ketentuan nas, seperti ketentuan tentang beberapa kewajiban dasar; salat, zakat puasa dan haji.
b.      Hukum yang sumbernya nas yang zanni al-dalalah terhadap obyek  hukum dan terdapat peluang bagi akal untuk berijtihad, maka dibolehkan berijtihad untuk mencari sasarannya yang tepat, tetapi terbatas pada pemahaman nas dan tidak boleh keluar dari jangkauannya seperti kebanyakan hukum muamalah.
c.       Hukum yang sumbernya bukan nas tetapi telah terjadi kesepakatan tentang hukum sesuatu objek tertentu (ijmak), maka disinipun terdapat peluang berijtihad selain mengkaji kebenaran terjadinya ijmak itu seperti memberi warisan 1/6 kepada nenek.
d.      Hukum yang sumbernya bukan nas tertentu terhadap sesuatu objek hukum tertentu, seperti kebanyakan dari hukum fiqhiyah dalam berbagai aliran/mazhab, maka disini terbuka peluang ijtihad mengkaji ulang dimana terbuka kemungkinan terjadinya perubahan hukum  sejalan dengan perubahan sosial.
       Keempat, konsep al-qiyas Imam Syafi’i dalam proses perubahan dan pembaharuan hukum Islam sebagai berikut:
a.       Semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seseorang muslim, tentu ada hukumnya yang pasti, atau menurut jalan yang benar terdapat petunjuk tentang hukumnya.
b.      Maka tidaklah terjadi sesuatu peristiwa yang dihadapi penganut agama Allah, melainkan di dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk tentang pemecahannya.
c.       Dan al-qiyas itu ditinjau dari dua segi: pertama, bahwa sesuatu peristiwa  baru (far’) sama betul dengan ma’na asl, maka dalam hal ini al-qiyas tidak akan berbeda; kedua, bahwa sesuatu peristiwa mempunyai kemiripan dengan beberapa ma’na pada asl, maka peristiwa itu dihubungkan dengan asl yang paling utama dan lebih banyak kemiripannya.




[1] Muhammad Abu Zahrah, al-Syafi’i Hayatuhu Wa’Asruh, Ara’uhu Wa Fiqhuh. (Kairo: Dar al-Fikr, al-‘Arabi, 1948), hlm. 11.
[2] Sutjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung; Alumni, 1983, hlm. 193-194.
[3] Ibid, hlm. 40-42.
[4] Sutjipto Raharjo, op. cit., hlm. 57-58.
[5] Abd al-Wahab Khallaf, Masadir al-Tasyri, fi ma la  Nassa Fih, Kuwait: Dar al-Qalam,1972, hlm. 9-13.
[6] Muhammad Ali al-Sayis,  Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Atwaruh, Mesir: Silsilah al-Buhus al-Islamiyah, 1970, hlm. 20-23.
[7] Imam Syafi’i , al-Risalah, Mesir: Dar al-Saqafah, 1973, hlm. 206.
[8] Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam perspektif sejarah, terjemahan Hamid Ahmad, Jakarta, P3M, 1987, hlm. 175-215.
[9] Imam Syafi’i, al-Risalah, loc. Cit.,
[10] Ibid., hlm. 14-15.
[11] Ibid., hlm. 206.
[12] Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam, Pedoman Ilmu Jaya, 1996, hlm.220.
[13] Q.S. 5 (Al-Maidah), 45.
[14] Muhammad al-Shan’aniy, Subul al-Salam, jld. III, Mesir: Mustahafa al-Babiy al-Halabiy, 1960, hlm. 240.
[15] Ibid, jld. IV, hlm. 14
[16] Ibid., hlm . 144
[17] Q.S. 17 (al-Isra’), 32
[18] Al-San’ani, 0p. cit., jld. IV, hlm. 4
[19] Ibid., jld. III, hlm. 111.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ekonomi

Page Rank

Tags

Followers

Wahana Kreasi 4 Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template