Sabtu, 22 Januari 2011

HADIS TEMATIK HUKUM NAFKAH

HADIS TEMATIK HUKUM NAFKAH

I. PENDAHULUAN
            Adam adalah manusia yang pertama kali disiptakan oleh Allah SWT. sebagai manusia, Adam diciptakan berbeda dari makluk lain yang telah ada, yakni malaikat dan iblis. Malaikat diciptakan dari cahaya tanpa diberi hawa nafsu, sedang Iblis diciptakan dari nyala api.[1] Berbeda dari keduanya, Allah SWt menciptakan Adam dari saripati tanah yang kemudian diberi hawa nafsu. Selain keistimewaan ini, Allah SWT juga menyuruh ciptaan-Nya yang telah ada (para malaikat dan iblis) untuk bersujud kepada Adam sebagai penghormatan.[2]
            Ketika itu, Adam seorang diri di dalam surga, kemudian Allah SWT menciptakan Hawa (seorang wanita) yang dijadikan sebagai pasangan hidupnya. Dua dejoli ini hidup dengan damai dan tentram disurga tanpa kurang suatu apapun. Karena itu iblis yang telah durhaka kepada AllahSWT, yang karena diusir dari surga, selalu menggoda dua insan tersebut agar sama-sama berbuat durhaka. Oleh sebab itu, Allah SWT, memperingatkan Adam dengan firmannya:







 Hai Adam, sesungguhnya (iblis) ini adalah musuh bagimu dan bagi istrimu. Maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu brdua dari surga yang akibatnya kamu akan bersusah payah. Sesungguhnya kamu tidak lapar disini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak pula akan kepanasan. (QS. Thaha : 117-119).
            Dengan memberi seorang istri kepada Adam berarti Allah SWT melengkapi penciptaan Adam (manusia) dengan nafsu syahwat, yakni keinginan untuk menyalurkan kebutuhan biologis (nafsu seksual) sebagai media (sarana dan prasarana) perkembang biakan manusia selanjutnya.
            Kecintaan dan cinta kasih seorang laki-laki terhadap perempuan dan begitu pula sebaliknya, adalah naluri (pembawaan Manusia yang diberikan allah SWT sejak lahir. Gairah seksual ini merupakan rahmat yang berkembang sejalan perkembangan fisik dan usia manusia, dimana penyalurannya harus dijalan yang diridlai Allah SWT. Hal ini mengingat bahwa penciptaan manusia itu sendiri tiada lain, agar manusia itu menghambakan diri dan taat pada aturan (syariat) yang ditetapkan Allah SWT, termasuk dalam hal pemuasan naluri tersebut.
Di antara jalan Allah (syariat) ini adalah hukum perkawinan yang merupakan aturan penyaluran gairah seksual yang terhormat dan memiliki tujuan mulia. Perkawinan ini dianggap sebagai perjanjian yang kokoh dan berat,[3] yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing dengan penuh keadilan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik dalam fungsi keagamaan maupun kedunian.
Begitulah, hendaknya keluarga dalam Islam yang diharapkan berdasarkan hukum dan aturan perkawinan yang saat ini telah sempurna adanya. Meskipun demikian penyimpangan dari hukum Allah SWT tentang perkawinanini masih banyak terdapat di kalngan manusia, itulah sebabnya, penegasan tentang aturan perkawinan dan bimbingan pelaksanaannya ini senantiasa urgent di sepanjang masa, termasuk di dalamnya masalah nafkah.




II. PEMBAHASAN
            Rasulullah saw bersabda:








Dari abu hurairah, ia berkata: rasulullah saw. bersabda, “sedinar engkau infakkan dijalan Allah, sedinar engkau infakkan dalam (membebaskan hamba, sedinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin dan sedinar yang engkau infakkan kepada keluarga, maka yang lebih besar pahalanya adalah yang engkau infakkan kepada keluargamu”. (HR. Ahmad dan Muslim).[4]

            Hadis diatas, menunjukkan, bahwa infak kepada keluarga lebih utama daripada infak di jalan Allah dan infak kepada kerabat-kerabat lain serta sedekah kepada kaum masakin.
1. Pengertian Nafaqah
            Nafaqah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk materi, karena kata nafaqah itu sendiri berkonotasi materi. Sedangkan kewajiban kewajiban dalam bentuk nono materi, seperti memuaskan hajat seksual istri tidak termasuk dalam artian nafaqah, meskipun dilakukan suami terhadap istrinya. Kata yang selama ini digunakan secara tidak tepat untuk maksud ini adalah nafkah batin sedangkan dalam bentuk materi disebut nafkah lahir. Dalam bahasa yang tepat nafkah itu tidak ada lahir atau batin. Yang ada adalah nafkah yang maksudnya adalah hal-hal yang bersifat lahiriah atau materi.[5]
            Kata nafaqah yang berasal dari kata               dalam bahasa Arab secara etimlogi mengandung arti:                         yang berarti berkuran, juga berarti
Yang berarti hilang atau pergi. Bila seorang dikatakan memberi nafaqah membuat harta yang dimilikinya menjadi sedikit karena telah dilenyapkannya atau dipergikannya untuk kepentingan orang lain. Bila kata ini dihubungkan dengan perkawinan mengandung arti: “sesuatu yang dikeluarkannya dari hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang”. Dengan demikian, nafaqah istri berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami terhadap istrinya dalam masa perkawinannya.[6]          
            Yang menurut dalam pengertian nafaqah menurut yang disepakati ulama adalah belanja untuk keperluan makan mencakup sembilan bahan pokok pakaian dan perumahan atau dalam bahasa sehari-hari di sebut sandang, pangan, dan papan. Selain dari tiga hal tersebut jadi perbincangan ulama.

2. Hukum Nafkah
            Hukum membayar nafkah untuk istri, baik dalam bentuk perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan oleh karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumah tangga, tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat ke-pada keadaan istri. Bahkan di antara ulama Syi’ah menetapkan bahwa meskipun istri orang kaya dan tidak memerlukan bantuan biasa dari suami, namun suami tetap wajib membayar nafkah.[7]
            Diantara  ayat al-Qur’an yang menyatakan kewajiban perbelanjaan terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 233.




Kewajiban ayah untuk memberikan belanja dan pakaian untuk istrinya. Seseorang tidak dibebani kecuali semampunya, seorang ibu tidak akan mendapat kesusahan karena anaknya, dan seorang ayah tidak akan mendapat kesusahan karena anaknya.

            Adapun dalam bentuk sunnah terdapat dalam beberapa hadis Nabi, diantaranya hadis Nabi yang berasal dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:        




Rasul Allah SAW, bersabda: hak anak-anak untuk mendapatkan makanan, dan pakaian, dan tidak dibebani untuk berbuat kecuali yang mampu ia perbuat.[8]

Begitu pula hadis Nabi dari Hakim bin Muawiyah al-Qusyairiy menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud, al-Nasi dan Ibnu Majah:





Saya (Hakim) berkata:”Ya Rasul Allah SAW, apakah hak seorang istri atas suaminya? Nabi menjawab:”kamu mesti memberi makan sesuai dengan apa yang kamu makan dan memberi pakaian sesuai dengan apa yang kamu pakai.[9]         
3. Tujuan dan Hikmah Nafkah
            Di antara disyariatkannya perkawinan adalah untuk mendapatkan ketenangan hidup, mendapatkan cinta dan kasih sayang, serta pergaulan yan baik dalam rumah tangga. Yang demikian baru dapat berjalan secara baik bila di tunjang dengan tercukupinya kebutuhan hidup yang pokok bagi kehidupan rumah tangga. Kewajiban nafkah adalah untuk menegakkan tujuan dari perkawinan.
            Dengan telah dipenuhinya kebutuhan yang bersifat materi itu dan ditunjang pula dengan pemenuhan kebutuhan nonmateri, maka apa yang diharapkan dengan perkawinan itu akan dapat tercapai dengan izin Allah dan dengan itu pula tuntutan Allah untuk pendekatan diri kepadanya dapat dilaksanakan.

4. Berlakunya Kewajiban Nafkah.
            Meskipun ulama sepakat tentang kewajiban suami untuk menberinafkah kepada istri  berdasarkan dalil-dalil tersebut diatas, mereka berbeda dalam menetapkan kapan secara hukum dimulai kewajiban nafkah itu. Beda pendapat itu bermula dari beda pendapat mereka dalam hal apakah nafkah itu diwajibkan karena semata melihat kepada akad nikah atau melihat kepada kehidupan suami istri yang memerlukan nafkah.
            Jumhur ulama termasuk ulama Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa nafkah itu mulai diwajibkan semenjak dimulainyakehidupan rumah tangga, yaitu semenjak suami telah bergaul dengan istri, dalam arti istri telah memberikan kemungkinan kepada suaminya untuk menggaulinya, yang dalam fikih disebut tamkin. Dengan semata tejadinya akad nikah belum ada kewajiban membayar nafkah. Berdasarkan pendapat ini bila tela berlangsungnya akad nikah istri belum melakukan tamkin, karena ia belum berhak menerima nafkah.[10]
            Yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama diatas adalah golongan Zhahiriyah. Bagi mereka kewajiban nafkah dimulai semenjak akad nikah, bukan dari tamkin, baik istri yang telah melangsungkan akad nikah itu memberi kesempatan kepada suami untuk digauli atau tidak, sudah dewasa atau masih kecil, secara fisik mampu melayani kebutuhan seksual suaminya atau tidak, sudah janda atau masih perawan.[11]
            Dasar pemikiran golongan ini ialah ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi yang mewajibkan suami membayar nafkah tidak menetapkan waktu. Dengan begitu bila seorang telah menjadi suami, yaitu dengan berlansungnya akad nikah, maka ia telah wajib membayar nafkah tanpa melihat kepada keadaan istri. Inilah tuntutan zahir dari dalil yang mewajibkan nafkah.

5. Bentuk dan Jenis Nafkah.
            Hal yang telah disepakati oleh ulama kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi suami sebagai nafkah adalah pangan, sandang, dan papan, karena dalil yang memberi petunjuk pada hukumnya begitu jelas dan pasti. Tentang yang lain dari itu menjadi perbincangan di kalangan ulama.
            Jumhur ulama memasukkan alat kebersihan dan wangi-wangian ke dalam pokok yang wajib dibiayai oleh suami, demikian pula alat keperluan tidur, seperti kasur dan batal sesuai dengan kebiasaan setempat. Bahkan bila istri tidak melakukan pelayanan dan selalu menggunakan pelayan, maka suami wajib menyediakan pelayan yang akan membantunya, walaupun hanya seorang.[12] Secara khusus jumhur ulama memang tidak menemukan dalil yang mewajibkan demikian dari al-qur’an maupun hadis Nabi yang kuat. Namun mereka berdalil bahwa yang demikian wajib dilakukan untuk memenuhi kewajiban menggauli istri dengan baik yang ditetapkan al-Qur’an.
            Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa suami tidak wajib menyediakan perhiasan dan parfum karena keduanya tidak terdapat dalam petunjuk al-Qur’an maupun hadis Nabi, baik secara langsung atau tidak. Demikian pula pelayan tidak wajib dibiayai oleh suami meskipun suami dan istri itu mempunyai status sosial yang tinggi.[13] Alasan yang dikemukakan golongan ini adalah tidak terdapatnya petunjuk al-Qur’an maupun hadis Nabi yang mewajibkan demikian.

6. Standar Ukuran Nafkah
            berdasarkan kepada pendapat jumhur yang status sosial ekonomi tidak termasuk kafaah yang diperhitungkan, maka suami istri dalam suatu keluarga tidak mesti dalam status sosial yang sama. Dalam keadaan begini menjadi perbincangan di kalangan ulama tentang status sosial ekonomi siapa yang dijadikan standar ukuran penetapan nafkah. Didalamnya terdapat tiga pendapat yaitu:
Pertama: Pendapat imam Ahmad yang mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran dalam menetapkan nafkah adalah status sosial ekonomi suami istri secara bersama-sama. Jika keduanya kebetulan status sosial ekonominya berbeda diambil setandar menengah diantara keduanya. Yang mnjadi pertimbangan bagi pendapat ini adalah keluarga itu merupakan gabungan di antara suami dan istri, oleh karena itu keduanya dijadikan pertimbangan dalam menetukan standar nafkah.
Kedua,pendapat Imam Abu Hanufah dan Imam Malik yang mengatakan bahwa yang dijadikan standar adalah kebutuhan istri. Yang menjadi dasar bagi ulama ini dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233:



Kewajiban suami untuk menanggung biaya hidup dan pakaian secara patut.
Pengertian ma’ruf dalam ayat ini dipahami ulama golongan ini dengan arti mencukupi.
Ketiga, pendapat Imam Syafi’i dan pengikutnya berpendapat bahwa yang dijadikan standar dalam ukuran nafkah istri adalah status sosial dan kemampuan ekonomi suami.[14] Selanjutnya ulama ini merinci kewajiban suami pada tiga tingkatan. Bagi suami yang kaya kewajibannya adalah dua mud. Kewajiban suami yang miskin adalah satu mud, dan yang menengah adalah satu setengah mud. Bila istri sudah bertempat tinggal dan makan bersama dengan suaminya, maka kewajiban suami adalah memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya dan tidak lagi secara khusus pemberian nafkah.[15]

7. Sifat Nafkah
            Nafkah adalah kewajiban suami yang harus dipikulnya terhadap istrinya. Setiap kewajiban agama itu merupakan beban hukum, sedangkan prinsip pembebanan hukum itu tergantung kemampuan subjek hukum untuk memikulnya, berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 286.
            Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban nafkah bersifat tetap permanen. Bila dalam waktu tertentu suami tidak menjalankan kewajibannya, sedangkan dia berkmampuan untuk membayarnya, maka istri dibolehkan mengambil harta suaminya sebanyak kewajiban yang dipikulnya. Dasar dari pemikiran ini adalah hadi Nabi dari Aisyah sehubungan istri Abu Sofyan.
            Menurut ulama Zhahiriyah kewajiban nafkah yang tidak dibayarkan suami dalammasa tertentu karena ketidakmampuannya, tidak menjadi hutang suami. Hal ini mengandung arti kewajiban nafkah gugur disebabkan ia tidak mampu. Dalil yang digunakan oleh ulama ini adalah ayat al-Qur’an yang tidak membebankan hukum kepada orang yang tidak mampu sebagaimana disebutkan diatas.[16]
            Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewajiban nafkah tidak ditunaikan suami dalam waktu tertentu karena ketidakmampuannya gugur seandainya nafkah itu belum ditetapkan oleh hakim.[17] Dasar pemikiran ulama ini adalah bahwa kewajiban nafkah itu tidak bersifat permanen sebelum ditentukan oleh hakim, sebagaimana layaknya kewajiban yang bersifat ghairu muhaddad.

8. Gugurnya Kewajiban Nafkah.
            Pada dasarnya nafkah itu diwajibkan sebagai penunjang kehidupan suami istri. Bila kehidupan suami istri berada dalam keadaan yang biasa, dimana suami maupun istri sama-sama melaksanakan kewajiban yang ditetapkan agama tidak ada masalah. Namun bila salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka berhakkah ia menerima hak yang ditetntukan, seperti istri tidak menjalankan kewajibannya berhakkah menerima nafkah dari suaminya, sebaliknya suami tidak menjalankan kewajibannya, berhakkah menerima pelayanan dari istri, menjadi pembicaraan dikalangan ulama.
            Dalam hal istri tidak menjalankan kewajibannya yang disebut dengan nusyuz, menurut jumhur ulama suami tidak wajib memberi nafkah dalam masa nusyuz-nya itu. Alasan bagi jumhur itu adalah bahwa nafkah yang diterima istri itu merupakan imbalan dari ketaatan yang diberikan kepada suami. Istri yang nusyuz hilang ketaatannya dalam masa itu, oleh karena itu tidak berhak atas nafkah selama nusyuz itu dan kewajiban itu kembali dilakukan setelah nusyuz itu berhenti.
            Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa istri yang nusyuz tidak gugur haknya dalam menerima nafkah. Alasannya ialah nafkah itu diwajibkan atas dasar akad nikah tidak dasar ketaatan. Bila suatu waktu tidak taat kepada suami atau nusyuz, ia hanya dapat diberi pengajaran, atau pisah tempat tidur atau pukulan yang tidak menyakiti, sesuai firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 34.[18]
            Bila suami tidak menjalankan kewajibannya dalam memberikan nafkah dapatkah istri maenarik ketaatannya dengan cara antara lain tidak mau digauli suaminya, juga menjadi pembicaraan  dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat istri yang tidak mendapat nafkah dari suaminya, berhak tidak memberikan pelayanan kepada suaminya, bahkan boleh memilih untuk pembatalan perkawinan atau fasakh.[19]
            Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa istri yang tidak menerima nafkah dari suaminya tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri dan tidak boleh menolak permintaan suami untuk digauli. Iastri harus sabar menerima kenyataan ketidak mampuan suaminya itu.[20]

9. Perselisihan Tentang Nafkah.
            Bila terjadi perselisihan tentang nafkah diselesaikan di pengadilan. Untuk mengadili perselisihan ini diselesaikan menurut ketentuan acara Pengadilan Agama. Perselesihan itu mungkin tentang penyerahan nafkah dan mungkin pula tentang tamkin.[21]
            Bila berselisih dalam hal penyerahan nafkah oleh suami kepada istrinya, dalam arti suami mengatakan telah menyerahakan nafkah sedangkan istri mengatakan belum menerimanya, maka menurut jumhur yang dimenangkan istri. Alasannya bahwa dalam kasus ini suami berada di pihak yang mendakwahkan sedangkan istri berada di pihak yang mengingkari. Bila terjadi perselisihan antara sudah dan belum, maka yang kuat adalah yang mengatakan belum. Hal ini sesuai dengan prinsip al-istishhab. Artinya kembali kepada asal, sedangkan asal sesuatu adalah tidak atau belum ada.
            Berselisih dalam tamkin, seperti istri mengatakanbahwa tela ada tamkin, artinya ia telah memberikan kesempatan kepada suaminya untuk bergaul, sedang suaminya mengatakan bahwa istrinya melakukan tamkin, sehingga dia tidak membayar nafkah, yang dibenarkan adalah pihak suami, karena dia berada pada pihak yang mengingkari, sedankan istri berada dipihak yang mendakwakan telah terjadi tamkin. Alasannya adalah mengamalkan prinsip al-istishhab sebagaimana dijelaskan diatas.






                                                                       


























III. KESIMPULAN

            Dari pembahasan singkat dalam makalah ini penulis dapat tarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Nafkah adalah belanja untuk keperluan makan yang mencakup sembilan bahan pokok pakaian dan perumahan atau dalam bahasa sehari-hari disebut sandang, pangan, dan papan. Hukum membayar nafkah untuk istri, bai dalam bentuk perbelanjaan, pakaian adalah wajib.
2.  Mulai berlakunya kewajiban suami untuk memberi nafkah kepada istrinya setelah dilaksanakan setelah istri bergaul dengan suaminya dan pendapat lain setelah diadakan akd nikah. Adapung besarnya nafkah yang diberikan kepada istri sesuai kemampuan suami atau melihat status ekonominya.
3. Gugurnya kewajiban suami memberikan nafkah kepada istri terjadi perbedaan pendapat diantara ulama, apbila istri nusyus maka dia tidak lagi berhak mendapatkan nafkah, sedangkan pendapat yang lain apabila istri nusyuz tidak gugurnya haknya. Dan apabila terjadi perselisihan yang berkaitan tenntang nafkah maka Pengadilan Agama yang memutuskan.


[1] Lihat, Al-Qur’an surat Al-Hijr ayat 27.
[2] Lihat , Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 34.
[3] Lihat Al-Qur’an surat An-nisa’ ayat 21.
[4] Syekh Faishal bin Abdul Aziz Ali Mubarak Qodhil Jaufi, Bustanul Ahbar Muhktasyar Nailul Authar, terj. Mu’ammal Hamidi dkk, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2005), Cet. Ke V, Jilid V, h. 2462.
[5] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 165.
[6] Ibid.
[7] Muhammad Jawad Muhgniyah, Fiqh al Imam Ja’far al-Shadiq, (Iran: Muassasah Anshariyyah, 1999), h.207.
[8] Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy al-Shan’aniy, Subul al-Salam, (Mathba’ah al-Babiy al-Halabiy, 1958), h. 221.
[9] Ibid.


[10] Hasan bin Ali al-Thusiy, al-Mabsuth fi al-Imamiyah, (Teheran: Mathba’ah al-Murtadhawiyah, 1388 H), Juz VI, h. 11.
[11] Ibnu Hazmin, al-Muhalla, (Mesir: Mathba’ah aljumhuriyah al-arabiyah, 1970), h. 249. 
[12] Ibnu Qudamah, al-Mughniy, (Cairo: Mathba’ah al-Qahirah, 1969), h. 235-237.
[13] Ibnu Hazmin, Op. cit., h. 251-252.
[14] Ibnu Qudamah, Op. cit., h. 271.
[15] Al-Nawawiy, Minhaj al-Thalibin, (Kairo, tt), h.262.
[16] Ibnu Hazmin, Op. cit., h. 253.
[17] Ibnu al-Hummam, Syarh Fat al-Qadir, (Cairo: Musthafa al-Babiy al-Halaby, 1970), Juz IV, h. 393.
[18] Ibnu Hazmin, Op. cit., h. 254.
[19] Ibnu  Qudamah, Op. cit., h. 242.
[20] Ibnu Hazmin, Op.cit., h. 25.
[21] Ibnu Qudamah, Op. cit., h. 253.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ekonomi

Page Rank

Tags

Followers

Wahana Kreasi 4 Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template