Pengertian
Hadits secara literal berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi
Islam perkataan dimaksud adalah perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun sering
kali kata ini mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah
sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun
persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam
agama. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua
pada tingkatan sumber hukum dibawah Al Qur’an.
Secara
struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai
penutur) dan matan (redaksi).Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat)
hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat
hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. :
Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Shu’bah, dari
Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:”Tidak beriman
diantara kamu sekalian hingga kamu mencintai saudaramu seperti kamu mencintai
dirimu sendiri” (Hadits riwayat Bukhari). Jika diambil dari contoh tersebut
maka sanad hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari – Musaddad – Yahyaa – Shu’bah – Qataadah – Anas – Nabi Muhammad SAW
Al-Bukhari – Musaddad – Yahyaa – Shu’bah – Qataadah – Anas – Nabi Muhammad SAW
Sebuah
hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi
dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah.
Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan
derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Sedangkan
Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits
bersangkutan ialah: “Tidak beriman diantara kamu sekalian hingga kamu mencintai
saudaramu seperti kamu mencintai dirimu sendiri”.
Namun
sejalan dengan perkembangan sejarah umat Islam, banyak terjadi pemalsuan hadits
yang dilakukan oleh segolongan orang untuk kepentingan politik semata. Maka muncullah
pada masa itu hadits-hadits yang dhaif dan diragukan keasliannya. Oleh para
kaum orientalis kebanyakan tidak mempercayai lagi keaslian hadits dan tidak mau
menjadikan hadits sebagai landasan hukum Islam karena banyaknya hadits-hadits
palsu yang beredar di kalangan umat Islam dan tidak sesuai lagi dengan konteks
pada zaman sekarang. Oleh karena itu, tujuan pembuatan makalah ini selain untuk
memenuhi tugas mata kuliah ulumul hadits, juga sebagai bahan pembelajaran
bersama untuk mengetahui kualifikasi antara hadits shahih dan dhaif sehingga
dapat membedakan mana hadits yang benar-benar dari Nabi dan mana yang palsu.
Harapan kami dengan adanya makalah ini, dapat memperkaya khazanah keilmuan
pembaca terutama dalam bidang kajian ilmu hadits. Semoga kemurnian ajaran Islam
senantiasa tegak dan terhindar dari segala pemalsuan.
PEMBAHASAN
Bagian I Hadits Shahih
A. Pengertian Hadits Shahih
Terdapat
perbedaan pendapat mengenai pengertian hadits shahih, diantaranya yaitu:
disebutkan dalam Muqaddimah Ath Thariqah Al
Muhammadiyah
ما
سلم لفظه من ركاكة ومعناه من مخالفة اية، اوخبر متواتراواجماع، وكان رواته عدولا
Hadits yang
sejahtera lafadhnya dari keburukan susunannya, sejahtera maknanya dari
menyalahi ayat, atau khabar mutawatir atau ijma’ dan segala perawinya yang adil.
disebutkan dalam At Ta’riefat
ما
سلم لفظه من ركاكة وسلم معناه من مخالفة اية اوخبر متواتر، واتصل اسناده بنقل عدل
ضابط
Hadits yang
sejahtera lafadhnyadari keburukan susunan, sejahtera maknanya dari menyalahi
ayat atau khabar mutawatir dan isnadnya bersambung-bersambung dengan orang yang
adil lagi keras hafadhannya.
Al Hafidh Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits
shahih adalah
ما
رواه عدل تام الضبط متصل مسند غيرمعلل ولا شاذ
Hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna keras ingatannya, bersambung-sambung
terus sanadnya kepada Nabi tidak ada sesuatu yang cacat dan tidak bersalah
riwayat itu dengan riwayat orang yang lebih rajih dari padanya.
Kesimpulannya, hadits
shahih ialah hadits yang berkumpul padanya lima syarat berikut ini:
- Bersambung-sambung sanadnya
- Terpelihara dari keganjilan (tidak berlawanan dengan riwayat yang lebih rajih)
- Terpelihara dari ‘illat
- Semua perawinya adil
- Semua perawinya dlabith.
Hadits shahih terbagi
menjadi dua:
Pertama, shahih
li dzatihi, yaitu:
ما ا
شتمل على اعلى صفات القبول
Hadits yang
melengkapi setinggi-tinggi sifat yang lurus mengharuskan kita menerimanya.
(sesuai dengan lima
syarat di atas).
Contohnya: hadits yang
diriwayatkan ibn Umar bahwa Nabi bersabda:
بنيي
الاسام على خمس: شهادة ان لااله الاالله وان محمدارسول الله، وا قام الصلاة
وايتاء
الزكاة، وصوم رمضان والحج
Kedua, shahih li
ghairihi, yaitu:
ما لم
تتوافرفيه اعلى صفات القبول
Yang tidak sempurna
padanya setinggi-tinggi sifat yang mengharuskan kita menerimanya.
ما
وجد فيه قصور عن رتبة الصحة، ثم وجد له ما يجبرذلك القصور ككثرة الطرق
Khabar yang
didapatinya padanya kekurangan dari mertabat shahih, kemudian didapati baginya
sesuatu yang menutupi kekurangan itu, seperti banyak jalan.
Umpamanya perawinya
adil tapi kurang kuat ingatannya. Maka jika ada jalan lain yang menguatkannya
menjadilah dia shahih karena yang selain itu, seperti banyak jalannya.
Jelasnya, sesuatu hadits yang dishahihkan karena selainnya lantaran ada sesuatu
yang asing dari padanya.
B. Syarat-Syarat Hadits Shahih
Sebuah
hadits dapat dikategorikan sebagai hadits shahih apabila memenuhi syarat
berikut ini:
- kontinuitas mata rantai (isnad) hadits tersebut terjaga, yang artinya keseluruhan mata rantai perawi kembali kepada perawi akhir.
- tidak boleh ada syudzudz, artinya sebuah hadits yang apik tidak boleh bertentangan dengan penuturan para ahli lainnya yang jumlahnya lebih banyak, atau bertentangan dengan penuturan seorang ulama yang bereputasi lebih tinggi dengannya – setelah hal itu diperbincangkan.
- hadits terebut tidak boleh mempunyai cacat yang tersembunyi. Umpamanya, seorang ahli yang tsiqah meriwayatkan sebuah hadits yang dinisbahkan kepada pernyataan Nabi, sementara mayoritas ahli menuturkan hadits yang serupa hanya dinisbahkan kepada sahabat Beliau. Disini jelas bahwa ahli tadi melakukan kesalahan dalam merujukkan hadits tersebut kepada Nabi.
- Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
- Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya.
- Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits
Ahli-ahli
hadits telah membagi hadits shahih dengan jalan melihat kepada kitab-kitabnya,
menjadi tujuh tingkatan. Masing-masing tingkatan lebih tinggi dari yang
dibawahnya. Ketujuh tingkatan itu adalah:
hadits yang diriwayatkan Bukhari – Muslim dengan
sanad yang satu.
hadits yang disepakati
sanadnya oleh kedua syaikh hadits ini, dinamai: Muttafaq ‘Alaihi.
Diantara kitab yang mengumpulkan hadits-hadits hukum yang disepakati oleh kedua
imam besar ini adalah ‘Umdatul Ahkam karya Al Imam Abdul Ghani Al
Maqdisi.
- hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri
- hadits yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri
- hadits yang diriwayatkan oleh seorang ulama hadits, dengan memakai syarat-syarat yang telah dipakai oleh Bukhari-Muslim, yakni: segala perawi hadits itu sendiri dari perawi-perawi yang dishahihkan haditsnya oleh Bukhari-Muslim
- hadits yang diriwayatkan oleh seorang ulama hadits dengan memakai syarat-syarat yang dipakai Bukhari sendiri
- hadits yang diriwayatkan oleh seorang ulama hadits dengan memakai syarat-syarat yang dipakai Muslim saja
- hadits yang dishahihkan oleh seorang imam hadits yang mu’tabar
Pertarjihan
ini adalah dengan jalan melihat pada umumnya, bukan dengan melihat kepada
afradnya (satu-satunya). Jika dilihat satu-satunya, terdapatlah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim melebihi derajat yang diriwayatkan Bukhori.
Ibnu
Hammam dalam syarah Al Hidayah mengatakan bahwa menetapkan tertib yang tersebut
di atas hanyalah suatu tahakkum saja, tidak boleh kita taklidi, karena
lebih shahihnya suatu hadits adalah karena perawi-perawi Bukhori dan Muslim itu
mempunyai syarat-syarat yang telah ditetapkan. Maka apabila di dalam
syarat-syarat tersebut pada suatu hadits yang terdapat bukan Bukhari Muslim,
tentulah tidak dapat mengatakan bahwa hadits tersebut tidak lebih shahih.
Bagian II
Hadits Dhaif
A. Pengertian Hadits Dhaif
Menurut
bahasa, dhaif sama dengan kata ajiz yang berarti yang lemah. Jama’nya dlu’afaa,
dli’af, dla’afah dan dla’faa. Sedangkan menurut istilah hadits dhaif berarti:
ما لم
يجمع صفات الحديث الصحيح ولاصفات الحديث الحسن
Hadits yang tiada
mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih, dan tiada mengumpulkan sifat-sifat
hadits hasan.
Sebagaimana yang
diketahui bahwa hadits maqbul (diterima) ialah hadits yang sempurna padanya
syarat-syarat diterimanya. Maka hadits mardud (yang ditolak) ialah hadits yang
terdapat padanya suatu sebab untuk menolaknya. Terdapat sebab menolaknya,
berarti tak ada padanya sesuatu syarat dari syarat-syarat menerimanya. Tegasnya
hadits dhaif ialah hadits yang didapati padanya sesuatu yang menyebabkan
ditolaknya. Yang menyebabkan ditolaknya, itulah yang menyebabkan lemahnya.
B. Syarat-Syarat Meriwayatkan Hadits Dhaif
Sebagian ulama
membolehkan kita meriwayatkan hadits dhaif dengan lafadh yang memberitahukan
kedhaifannya. Walaupun tiada menerangkan kedhaifannya asal cukup syarat-syarat
di bawah ini:
- hadits yang dhaif itu berhubungan dengan soal cerita, pengajaran (nasehat), atau keutamaan-keutamaan amal. Tiada berhubungan dengan soal i’tikad, tiada menjadi tafsir sesuatu ayat, tiada menetapkan suatu hukum halal, haram, makruh dan sunat.
- hadits itu tiada seberapa dhaifnya. Jika kedhaifan hadits karena si perawi tertuduh berdusta, maka tidak boleh sekali-kali diriwayatkannya dengan tiada menerangkan kedhaifannya, walaupun untuk keperluan menarik perhatian, atau hanya sekedar untuk menggemarkan saja.
- hadits itu, masuk ke dalam salah satu pokok yang shahih. Umpamanya, kesunahan sholat dhuha, telah terang ditegaskan oleh beberapa hadits yang shahih, disamping itu ada hadits dhaif yang menerangkan keutamaannya, atau faedahnya sholat dhuha. Hadits yang dhaif ini boleh kita pakai untuk targhib, karena kesunahan sholat dhuha telah diakui oleh hadits yang lain.
- hadits yang dhaif itu, tiada diakui shahih datangnya dari Nabi, tiada diakui dengan sungguh-sungguh bahwa Nabi menyabdakannya, hanya dipakai dan diamalkan untuk ihtiyath (memelihara diri) semata-mata.
C. Pembagian Hadits Dhaif
Berdasarkan Sebab Kedhaifannya
Hadits
dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat dibagi
menjadi dua bagian:
Pertama, yang menyebabkan kedhaifannya adalah karena terdapat
keguguran perawi dalam sanadnya.
Kedua, yang menyebabkan kedhaifannya adalah karena terdapat
sesuatu yang menyebabkan dicacat perawinya.
Gugur perawi itu
adakala di permulaan sanad dari jurusan perawi hadits, adakala di akhirnya,
sesudah tabi’i. Jika gugur itu di permulaan sanad dari jurusan pentakhrij,
dinamai Mu’allaq. Jika sesudah tabi’i dinamai Mursal. Jika
bukan demikian, maka kalau dua orang atau lebih dan beriring-iring, dinamai Mu’dlal.
Jika tidak beriring dinamai Munqanthi’. Kemudian yang Munqathi’ itu
kalau tidak terang atau tersembunyi keadaannya dinamai Mudallas.
Cecatan yang dengan
karenanya dicecat perawinya, menurut pentahqiqan Al Hafidh Ibnu Hajar dalam
Nuzhatun Nadhar ada sepuluh perkara:
- kedustaan perawi, hadits yang dicecat disebabkan kedustaan perawi disebut Maudlu’.
- tertuduh dusta (perawi tertuduh penah berdusta), hadits yang dicecat disebabkan perawi tertuduh dusta disebut Matruk.
- banyak keliru, hadits yang dicecat karena perawi banyak keliru disebut Munkar.
- lengah dalam urusan hafalan.
- kurang baik perjalanan hidup yang membawa kepada fusuq, baik perkataan maupun perbuatan
- banyak waham, hadits yang dicecat disebabkan perawinya banyak waham dinamai Mu’allal.
- menyalahi perawi-perawi yang kepercayaan, hadits yang dicecat disebabkan karena menyalahi perawi-perawi kepercayaan, jika lantaran perubahan susunan sanad dinamai Mudrajul Isnad.
- tidak diketahui keadaannya (orang yang tidak dikenal)
- menganut bid’ah (mengi’tiqadkan sesuatu i’tiqad yang berlawanan dengan yang diterima dari Nabi dengan dasar subhat), hadits yang diriwayatkan orang seperti ini dinamai Mardud.
- tidak baik hafalan, hadits yang dicecat karena lemahnya hafalan perawi dinamai Syadz.
Segenap
ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan
hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli,
hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain.
Tetapi mereka
berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha’if untuk menerangkan
keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a’mal, yaitu
untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib
(menakutkan pelanggarnya).
Imam Al-Bukhari dan
Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha’if tidak bisa digunakan meski
hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud
Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan
tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat
periwayatannya lemah.
Ketegasan sikap
kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang yang
berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang
menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya
mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka
bumi setelah Al-Quran Al-Kariem.
Senjata utama mereka
yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW:
Siapa yang
menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu
haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR Bukhari Muslim)
Sedangkan Al-Imam
An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para
ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif
untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum
sampai kepada derajat maudhu’ (palsu).
Namun pernyataan beliau
ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud
pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk
menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah.
Padahal yang benar
adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh
menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits
yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha’if untuk menggambarkan
bahwa suatu amal itu berpahala besar. Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus
didasari dengan hadits yang kuat. Lagi pula, kalau pun sebuah hadits itu boleh
digunakan untuk memberi semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang
juga harus terpenuhi, antara lain:
- Derajat kelemahan hadits itu tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap sebagai pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering keliru, maka haditsnya tidak bisa dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat parah kelemahannya.
- Perbuatan amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar yang umum. Sedangkan sebuah amal yang tidak punya dasar sama sekali tidak boleh dilakkan hanya berdasarkan hadits yang lemah.
Ketika seseorang
mengamalkan sebuah amalan yang disemangati dengan hadits lemah, tidak boleh
diyakini bahwa semangat itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita terhindar dari
menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW sementara beliau tidak pernah
menyatakan hal itu.
E. Beberapa Contoh Hadits Dhaif
من
زارقبر ابويه ااحدهما في كل جمعة غفر له وكتب برا
Artinya: Barang
siapa yang berziarah ke kuburan kedua orang tuanya atau salah satu dari
keduanya pada tiap-tiap hari Jum’at maka dijumpai baginya dan dicatat sebagai
satu kebaikan.
Penjelasan: Hadits ini
موضوع = Palsu
- Diriwayatkan oleh Imam Thabraaniy dari jalan Muhammad bin Nu’man bin Abdir Rahman dari Yahya bin Al-‘Alaa Al-Bajaly dari Abdil Kariim Abi ‘Umaiyah dari Mujaahid dari Abi Hurairah. Kemudian Imam Thabraaniy mengatakan: Hadits ini tidak ada yang meriwayatkan dari Abi Hurairah melainkan hanya dengan sanad ini.
- Muhammad Nashruddin Al-Baaniy mengatakan: hadits ini palsu. Muhammad bin Nu’man dalam sanad ini adalah seorang rawi yang majhul sebagaimana tersebut dalam kitab Miizaanul ‘Itidal dan Lisaanul Miizaan. Demikian pula rawi yang bernama Yahya bin ‘Alaa. Dia adalah seorang rawi yang Matruk.
- Imam Ahmad mengatakan: Yahya bin ‘Alaa adalah seorang rawi yang كذاب = tukang dusta, serta orang yang suka memalsukan hadits.
- Ibnu ‘Adiy mengatakan: jelaslah bahwa riwayat ini melalui jalan Yahya bin ‘Alaa, sedang semua riwayat yang melalui jalan rawi ini adalah Dhaif dan kebanyakan pula termasuk palsu.
PENUTUP
Demikianlah pemaparan
kami berkaitan dengan kualifikasi hadits shahih dan dhaif. Dari uraian di atas
dapat kita ambil suatu benang merah bahwa untuk menilai shahih tidaknya suatu
hadits dapat dilihat dari sanad haditsnya tersebut. Dan untuk menjadi seorang
perawi tidaklah mudah. Mereka harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah
ditentukan. Dengan adanya persyaratan yang harus dipenuhi seorang perawi, maka
setiap orang tidak akan dengan mudah mengaku mendapat riwayat hadits sehingga
keaslian dan kemurnian hadits dapat senantiasa terjaga dari segala pemalsuan.
Makalah ini Disusun
oleh RIZA FAHMI AZIZ.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, T.M.
Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1987.
Azami, Muhammad
Mustafa. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Hidayah. 1992.
Koho, A. Yazid Qosim. Himpunan
Hadits-Hadits Lemah dan Palsu. Surabaya:
Bina Ilmu. 1977.
Tim penulis Depag RI.
‘ulumul hadist. 2002.
www.wikipedia.com
0 komentar:
Posting Komentar