Rabu, 21 November 2012

Ilmu Hadist



Pengertian Hadits secara literal berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan dimaksud adalah perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun sering kali kata ini mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al Qur’an.

Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. : Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Shu’bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:”Tidak beriman diantara kamu sekalian hingga kamu mencintai saudaramu seperti kamu mencintai dirimu sendiri” (Hadits riwayat Bukhari). Jika diambil dari contoh tersebut maka sanad hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari – Musaddad – Yahyaa – Shu’bah – Qataadah – Anas – Nabi Muhammad SAW
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Sedangkan Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah: “Tidak beriman diantara kamu sekalian hingga kamu mencintai saudaramu seperti kamu mencintai dirimu sendiri”.
Namun sejalan dengan perkembangan sejarah umat Islam, banyak terjadi pemalsuan hadits yang dilakukan oleh segolongan orang untuk kepentingan politik semata. Maka muncullah pada masa itu hadits-hadits yang dhaif dan diragukan keasliannya. Oleh para kaum orientalis kebanyakan tidak mempercayai lagi keaslian hadits dan tidak mau menjadikan hadits sebagai landasan hukum Islam karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan umat Islam dan tidak sesuai lagi dengan konteks pada zaman sekarang. Oleh karena itu, tujuan pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah ulumul hadits, juga sebagai bahan pembelajaran bersama untuk mengetahui kualifikasi antara hadits shahih dan dhaif sehingga dapat membedakan mana hadits yang benar-benar dari Nabi dan mana yang palsu. Harapan kami dengan adanya makalah ini, dapat memperkaya khazanah keilmuan pembaca terutama dalam bidang kajian ilmu hadits. Semoga kemurnian ajaran Islam senantiasa tegak dan terhindar dari segala pemalsuan.

PEMBAHASAN
Bagian I Hadits Shahih
A. Pengertian Hadits Shahih
Terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian hadits shahih, diantaranya yaitu:
disebutkan dalam Muqaddimah Ath Thariqah Al Muhammadiyah
ما سلم لفظه من ركاكة ومعناه من مخالفة اية، اوخبر متواتراواجماع، وكان رواته عدولا
Hadits yang sejahtera lafadhnya dari keburukan susunannya, sejahtera maknanya dari menyalahi ayat, atau khabar mutawatir atau ijma’ dan segala perawinya yang adil.
disebutkan dalam At Ta’riefat
ما سلم لفظه من ركاكة وسلم معناه من مخالفة اية اوخبر متواتر، واتصل اسناده بنقل عدل ضابط
Hadits yang sejahtera lafadhnyadari keburukan susunan, sejahtera maknanya dari menyalahi ayat atau khabar mutawatir dan isnadnya bersambung-bersambung dengan orang yang adil lagi keras hafadhannya.
Al Hafidh Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits shahih adalah
ما رواه عدل تام الضبط متصل مسند غيرمعلل ولا شاذ
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna keras ingatannya, bersambung-sambung terus sanadnya kepada Nabi tidak ada sesuatu yang cacat dan tidak bersalah riwayat itu dengan riwayat orang yang lebih rajih dari padanya.

Kesimpulannya, hadits shahih ialah hadits yang berkumpul padanya lima syarat berikut ini:
  1. Bersambung-sambung sanadnya
  2. Terpelihara dari keganjilan (tidak berlawanan dengan riwayat yang lebih rajih)
  3. Terpelihara dari ‘illat
  4. Semua perawinya adil
  5. Semua perawinya dlabith.
Hadits shahih terbagi menjadi dua:
Pertama, shahih li dzatihi, yaitu:
ما ا شتمل على اعلى صفات القبول
Hadits yang melengkapi setinggi-tinggi sifat yang lurus mengharuskan kita menerimanya. (sesuai dengan lima syarat di atas).
Contohnya: hadits yang diriwayatkan ibn Umar bahwa Nabi bersabda:
بنيي الاسام على خمس: شهادة ان لااله الاالله وان محمدارسول الله، وا قام الصلاة
وايتاء الزكاة، وصوم رمضان والحج
Kedua, shahih li ghairihi, yaitu:
ما لم تتوافرفيه اعلى صفات القبول
Yang tidak sempurna padanya setinggi-tinggi sifat yang mengharuskan kita menerimanya.
ما وجد فيه قصور عن رتبة الصحة، ثم وجد له ما يجبرذلك القصور ككثرة الطرق
Khabar yang didapatinya padanya kekurangan dari mertabat shahih, kemudian didapati baginya sesuatu yang menutupi kekurangan itu, seperti banyak jalan.
Umpamanya perawinya adil tapi kurang kuat ingatannya. Maka jika ada jalan lain yang menguatkannya menjadilah dia shahih karena yang selain itu, seperti banyak jalannya. Jelasnya, sesuatu hadits yang dishahihkan karena selainnya lantaran ada sesuatu yang asing dari padanya.
B. Syarat-Syarat Hadits Shahih
Sebuah hadits dapat dikategorikan sebagai hadits shahih apabila memenuhi syarat berikut ini:
  1. kontinuitas mata rantai (isnad) hadits tersebut terjaga, yang artinya keseluruhan mata rantai perawi kembali kepada perawi akhir.
  2. tidak boleh ada syudzudz, artinya sebuah hadits yang apik tidak boleh bertentangan dengan penuturan para ahli lainnya yang jumlahnya lebih banyak, atau bertentangan dengan penuturan seorang ulama yang bereputasi lebih tinggi dengannya – setelah hal itu diperbincangkan.
  3. hadits terebut tidak boleh mempunyai cacat yang tersembunyi. Umpamanya, seorang ahli yang tsiqah meriwayatkan sebuah hadits yang dinisbahkan kepada pernyataan Nabi, sementara mayoritas ahli menuturkan hadits yang serupa hanya dinisbahkan kepada sahabat Beliau. Disini jelas bahwa ahli tadi melakukan kesalahan dalam merujukkan hadits tersebut kepada Nabi.
  4. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
  5. Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya.
  6. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits
C. Tingkatan Hadits Shahih Berdasarkan Kitab
Ahli-ahli hadits telah membagi hadits shahih dengan jalan melihat kepada kitab-kitabnya, menjadi tujuh tingkatan. Masing-masing tingkatan lebih tinggi dari yang dibawahnya. Ketujuh tingkatan itu adalah:
hadits yang diriwayatkan Bukhari – Muslim dengan sanad yang satu.
hadits yang disepakati sanadnya oleh kedua syaikh hadits ini, dinamai: Muttafaq ‘Alaihi. Diantara kitab yang mengumpulkan hadits-hadits hukum yang disepakati oleh kedua imam besar ini adalah ‘Umdatul Ahkam karya Al Imam Abdul Ghani Al Maqdisi.
  1. hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri
  2. hadits yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri
  3. hadits yang diriwayatkan oleh seorang ulama hadits, dengan memakai syarat-syarat yang telah dipakai oleh Bukhari-Muslim, yakni: segala perawi hadits itu sendiri dari perawi-perawi yang dishahihkan haditsnya oleh Bukhari-Muslim
  4. hadits yang diriwayatkan oleh seorang ulama hadits dengan memakai syarat-syarat yang dipakai Bukhari sendiri
  5. hadits yang diriwayatkan oleh seorang ulama hadits dengan memakai syarat-syarat yang dipakai Muslim saja
  6. hadits yang dishahihkan oleh seorang imam hadits yang mu’tabar
Pertarjihan ini adalah dengan jalan melihat pada umumnya, bukan dengan melihat kepada afradnya (satu-satunya). Jika dilihat satu-satunya, terdapatlah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim melebihi derajat yang diriwayatkan Bukhori.
Ibnu Hammam dalam syarah Al Hidayah mengatakan bahwa menetapkan tertib yang tersebut di atas hanyalah suatu tahakkum saja, tidak boleh kita taklidi, karena lebih shahihnya suatu hadits adalah karena perawi-perawi Bukhori dan Muslim itu mempunyai syarat-syarat yang telah ditetapkan. Maka apabila di dalam syarat-syarat tersebut pada suatu hadits yang terdapat bukan Bukhari Muslim, tentulah tidak dapat mengatakan bahwa hadits tersebut tidak lebih shahih.


Bagian II Hadits Dhaif
A. Pengertian Hadits Dhaif
Menurut bahasa, dhaif sama dengan kata ajiz yang berarti yang lemah. Jama’nya dlu’afaa, dli’af, dla’afah dan dla’faa. Sedangkan menurut istilah hadits dhaif berarti:
ما لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولاصفات الحديث الحسن
Hadits yang tiada mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih, dan tiada mengumpulkan sifat-sifat hadits hasan.
Sebagaimana yang diketahui bahwa hadits maqbul (diterima) ialah hadits yang sempurna padanya syarat-syarat diterimanya. Maka hadits mardud (yang ditolak) ialah hadits yang terdapat padanya suatu sebab untuk menolaknya. Terdapat sebab menolaknya, berarti tak ada padanya sesuatu syarat dari syarat-syarat menerimanya. Tegasnya hadits dhaif ialah hadits yang didapati padanya sesuatu yang menyebabkan ditolaknya. Yang menyebabkan ditolaknya, itulah yang menyebabkan lemahnya.
B. Syarat-Syarat Meriwayatkan Hadits Dhaif
Sebagian ulama membolehkan kita meriwayatkan hadits dhaif dengan lafadh yang memberitahukan kedhaifannya. Walaupun tiada menerangkan kedhaifannya asal cukup syarat-syarat di bawah ini:
  1. hadits yang dhaif itu berhubungan dengan soal cerita, pengajaran (nasehat), atau keutamaan-keutamaan amal. Tiada berhubungan dengan soal i’tikad, tiada menjadi tafsir sesuatu ayat, tiada menetapkan suatu hukum halal, haram, makruh dan sunat.
  2. hadits itu tiada seberapa dhaifnya. Jika kedhaifan hadits karena si perawi tertuduh berdusta, maka tidak boleh sekali-kali diriwayatkannya dengan tiada menerangkan kedhaifannya, walaupun untuk keperluan menarik perhatian, atau hanya sekedar untuk menggemarkan saja.
  3. hadits itu, masuk ke dalam salah satu pokok yang shahih. Umpamanya, kesunahan sholat dhuha, telah terang ditegaskan oleh beberapa hadits yang shahih, disamping itu ada hadits dhaif yang menerangkan keutamaannya, atau faedahnya sholat dhuha. Hadits yang dhaif ini boleh kita pakai untuk targhib, karena kesunahan sholat dhuha telah diakui oleh hadits yang lain.
  4. hadits yang dhaif itu, tiada diakui shahih datangnya dari Nabi, tiada diakui dengan sungguh-sungguh bahwa Nabi menyabdakannya, hanya dipakai dan diamalkan untuk ihtiyath (memelihara diri) semata-mata.
C. Pembagian Hadits Dhaif Berdasarkan Sebab Kedhaifannya
Hadits dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat dibagi menjadi dua bagian:
Pertama, yang menyebabkan kedhaifannya adalah karena terdapat keguguran perawi dalam sanadnya.
Kedua, yang menyebabkan kedhaifannya adalah karena terdapat sesuatu yang menyebabkan dicacat perawinya.
Gugur perawi itu adakala di permulaan sanad dari jurusan perawi hadits, adakala di akhirnya, sesudah tabi’i. Jika gugur itu di permulaan sanad dari jurusan pentakhrij, dinamai Mu’allaq. Jika sesudah tabi’i dinamai Mursal. Jika bukan demikian, maka kalau dua orang atau lebih dan beriring-iring, dinamai Mu’dlal. Jika tidak beriring dinamai Munqanthi’. Kemudian yang Munqathi’ itu kalau tidak terang atau tersembunyi keadaannya dinamai Mudallas.
Cecatan yang dengan karenanya dicecat perawinya, menurut pentahqiqan Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Nuzhatun Nadhar ada sepuluh perkara:
  1. kedustaan perawi, hadits yang dicecat disebabkan kedustaan perawi disebut Maudlu’.
  2. tertuduh dusta (perawi tertuduh penah berdusta), hadits yang dicecat disebabkan perawi tertuduh dusta disebut Matruk.
  3. banyak keliru, hadits yang dicecat karena perawi banyak keliru disebut Munkar.
  4. lengah dalam urusan hafalan.
  5. kurang baik perjalanan hidup yang membawa kepada fusuq, baik perkataan maupun perbuatan
  6. banyak waham, hadits yang dicecat disebabkan perawinya banyak waham dinamai Mu’allal.
  7. menyalahi perawi-perawi yang kepercayaan, hadits yang dicecat disebabkan karena menyalahi perawi-perawi kepercayaan, jika lantaran perubahan susunan sanad dinamai Mudrajul Isnad.
  8. tidak diketahui keadaannya (orang yang tidak dikenal)
  9. menganut bid’ah (mengi’tiqadkan sesuatu i’tiqad yang berlawanan dengan yang diterima dari Nabi dengan dasar subhat), hadits yang diriwayatkan orang seperti ini dinamai Mardud.
  10. tidak baik hafalan, hadits yang dicecat karena lemahnya hafalan perawi dinamai Syadz.
D. Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif
Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain.
Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha’if untuk menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a’mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakutkan pelanggarnya).
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha’if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah.
Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Kariem.
Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW:
Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR Bukhari Muslim)
Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai kepada derajat maudhu’ (palsu).
Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah.
Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha’if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu berpahala besar. Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan hadits yang kuat. Lagi pula, kalau pun sebuah hadits itu boleh digunakan untuk memberi semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang juga harus terpenuhi, antara lain:
  1. Derajat kelemahan hadits itu tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap sebagai pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering keliru, maka haditsnya tidak bisa dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat parah kelemahannya.
  2. Perbuatan amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar yang umum. Sedangkan sebuah amal yang tidak punya dasar sama sekali tidak boleh dilakkan hanya berdasarkan hadits yang lemah.
Ketika seseorang mengamalkan sebuah amalan yang disemangati dengan hadits lemah, tidak boleh diyakini bahwa semangat itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita terhindar dari menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW sementara beliau tidak pernah menyatakan hal itu.
E. Beberapa Contoh Hadits Dhaif
من زارقبر ابويه ااحدهما في كل جمعة غفر له وكتب برا
Artinya: Barang siapa yang berziarah ke kuburan kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya pada tiap-tiap hari Jum’at maka dijumpai baginya dan dicatat sebagai satu kebaikan.
Penjelasan: Hadits ini موضوع = Palsu
  • Diriwayatkan oleh Imam Thabraaniy dari jalan Muhammad bin Nu’man bin Abdir Rahman dari Yahya bin Al-‘Alaa Al-Bajaly dari Abdil Kariim Abi ‘Umaiyah dari Mujaahid dari Abi Hurairah. Kemudian Imam Thabraaniy mengatakan: Hadits ini tidak ada yang meriwayatkan dari Abi Hurairah melainkan hanya dengan sanad ini.
  • Muhammad Nashruddin Al-Baaniy mengatakan: hadits ini palsu. Muhammad bin Nu’man dalam sanad ini adalah seorang rawi yang majhul sebagaimana tersebut dalam kitab Miizaanul ‘Itidal dan Lisaanul Miizaan. Demikian pula rawi yang bernama Yahya bin ‘Alaa. Dia adalah seorang rawi yang Matruk.
  • Imam Ahmad mengatakan: Yahya bin ‘Alaa adalah seorang rawi yang كذاب = tukang dusta, serta orang yang suka memalsukan hadits.
  • Ibnu ‘Adiy mengatakan: jelaslah bahwa riwayat ini melalui jalan Yahya bin ‘Alaa, sedang semua riwayat yang melalui jalan rawi ini adalah Dhaif dan kebanyakan pula termasuk palsu.

PENUTUP
Demikianlah pemaparan kami berkaitan dengan kualifikasi hadits shahih dan dhaif. Dari uraian di atas dapat kita ambil suatu benang merah bahwa untuk menilai shahih tidaknya suatu hadits dapat dilihat dari sanad haditsnya tersebut. Dan untuk menjadi seorang perawi tidaklah mudah. Mereka harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Dengan adanya persyaratan yang harus dipenuhi seorang perawi, maka setiap orang tidak akan dengan mudah mengaku mendapat riwayat hadits sehingga keaslian dan kemurnian hadits dapat senantiasa terjaga dari segala pemalsuan.
Makalah ini Disusun oleh RIZA FAHMI AZIZ.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1987.
Azami, Muhammad Mustafa. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Hidayah. 1992.
Koho, A. Yazid Qosim. Himpunan Hadits-Hadits Lemah dan Palsu. Surabaya: Bina Ilmu. 1977.
Tim penulis Depag RI. ‘ulumul hadist. 2002.
www.wikipedia.com

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ekonomi

Page Rank

Tags

Followers

Wahana Kreasi 4 Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template