Kamis, 16 Desember 2010

KONSEP NEGARA MENURUT ABUL A’LA MAUDUDI

 KONSEP NEGARA MENURUT
ABUL A’LA MAUDUDI
Oleh : Adi Hasan Basri

A.    PENDAHULUAN
Add caption
Robohnya khilafah Islamiyah di Turki pada tahun 1924 benar-benar menjadi pukulan sangat telak pada eksistensi ummat Islam. Khalifah Islam di Turki yang merupakan jangkar terakhir kekuatan dan simbol ummat, telah diobok-obok oleh Kamal At-Taturk, bapak sekularisme Turki yang tak lain adalah antek Barat yang dipasang di jantung pusat kekuatan Islam.[1]
Lenyapnya kekuasaan penyatu ummat ini menimbulkan kegamangan yang sangat dalam di tubuh ummat yang tak lagi memiliki garis komando tunggal. Sebab, telah dicabik-cabik dalam negara-negara kecil dengan kepentingan sangat beragam, sehingga mudah disulut dan dibakar. Dari rasa kegamangan inilah muncul "kerinduan" menggebu dalam dada ummat untuk melahirkan kembali Islam sebagai kekuatan dan sekaligus sebagai penyelamat dunia. Usaha-usaha ini dilakukan dengan cara pembentukan gerakan-gerakan Islam.

 

Dalam kehidupan berbangsa hendaknya setiap dari pada penduduknya harus mengetahui tentang suatu konsep yang berkenaan dengan Negara tersebut. Setiap  sistem  mempunyai  falsafah  dan  gagasannya  atau  rancangannya  tentang  kehidupan. Setiap  sistem  mempunyai  masalah-masalah  yang  timbul  dari  penerapannya  dan  mempunyai persoalan-persoalan  yang  sesuai  dengan  watak  dan  pengaruhnya  di  alam nyata.  Demikian  pula setiap  sistem  mempunyai  penyelesaian-penyelesaian  untuk  menghadapi  persoalan  dan  masalah yang timbul dari watak dan kaedahnya.
Fikiran   logik   yang   sesungguhnya   akan   berpendapat : Siapa   yang   bermaksud meminta pendapat  dari  suatu  sistem  tertentu  dalam  menyelesaikan  masalah-masalah  kehidupan,  maka sistem ini harus dilaksanakan terlebih dahulu dalam kenyataan hidup. Lalu setelah itu baru dilihat apakah  masalah-masalah  itu  masih  ada  atau  menghilang,  atau  berubah  bentuk  dan  unsurnya. Hanya pada saat inilah kita mungkin meminta pendapat dari sistem ini mengenai persoalan-persoalan yang timbul, sewaktu pelaksanaannya.
Islam adalah satu sistem kemasyarakatan yang lengkap, yang segi-seginya saling berjalinan dan  saling  mendukung.  Sistem  ini  berbeza  wataknya,  gagasannya  tentang  kehidupan  dan  cara- cara  pelaksanaannya  dari  sistem-sistem  Barat,  dan  dari  sistem  yang  kita  pakai  sekarang  ini. Perbezaan  ini  adalah  perbezaan  pokok  dan  menyeluruh.  Sudah  pasti  bahawa  sistem  Islam  itu tidak   ikut   serta   dalam   menimbulkan   persoalan-persoalan   yang   terdapat   dalam   masyarakat sekarang ini. Persoalan-persoalan itu timbul dari watak sistem-sistem yang dilaksanakan dalam masyarakat dan timbul kerana dijauhkannya Islam dari lapangan kehidupan.
B.     PEMBAHASAN

1.      Riwayat Hidup

Sayyid Abul A'la Maududi lahir pada 25 September 1903, bertepatan dengan 3 Rajab 1321 di Awrangabad, Deccan. Ayahnya bernama Sayyid Ahmad Hasan. Dia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Garis keturunannya bersambung langsung dengan Khwaja Qutbu'ddin Maududi Chisti, dari sini nama Maududi diambil, yang mendapat gelar sebagai syaikhul syuyukh (guru-gurunya sufi) di India. [2]
Para pendiri tarikat Chistiyyah ini memiliki garis keturunan yang bersambung pada Nabi. Oleh karenanya, nama mereka selalu diembeli sayyid. Dari ibunya, Ruqaiyah Begum, nasabnya berasal dari keluarga utama asal Turki yang berimigrasi ke India pada saat Aurangzeb berkuasa dan pernah menjabat pos penting di pemerintahan Mughal. Pada masa kecilnya, Maududi sangat disayang oleh ayahnya. [3]
Perhatian besar ayahnya yang penganut tasawuf inilah, menurut Maududi dalam autobiografinya, telah mempengaruhi sikap hidupnya. Terutama sekali dalam idealisme, kealiman dan kerendahan hati. Ahmad Hasan sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Makanya, dia memandang perlu untuk mengajar sendiri anak-anaknya. Ayahnya menginginkan Maududi menjadi seorang maulawi (kiai), seorang ahli ilmu kalam dan sekaligus sebagai pemikir Islam. Sebelum anak-anaknya tidur, dia selalu bercerita tentang orang-orang besar dalam Islam dan kebesaran sejarah Islam. Maududi memulai pendidikannya dengan belajar bahasa Persia, Urdu dan kemudian Arab. Di samping itu, dia juga belajar mantiq (logika) fikih dan hadits. Dalam usianya yang sangat muda, Maududi memiliki keinginan yang menggebu untuk menulis. Namun sang ayah tidak mengijinkan. Sebaliknya, dia menyarankan anaknya banyak membaca lebih dahulu agar memiliki fondasi dan kematangan yang kokoh dalam berbagai ilmu. [4]
Pada tahun 1914, saat umurnya menjelang sebelas tahun, dia masuk di Madrasah Fauqaniyah di Awrangabad. Sekolah ini berafiliasi pada Uthmaniyah University Hyderabad, yang mengajarkan ilmu-ilmu klasik dan modern sekaligus. Maududi adalah sosok yang tak pernah puas dengan satu ilmu tertentu. Di usianya yang sangat muda, dia telah bersentuhan dengan berbagai disiplin ilmu. Dia telah belajar al-Miqat fil Al-Mantiq dalam bidang logika, al-Quduri dalam bidang fiqh dan Shamail al-Tirmidzi dalam bidang Hadits. Usia sebelas tahun, dia telah mampu menerjemahkan buku Al-Mar'ah Al-Jadidah karya Qasim, pengarang Mesir kenamaan "dan sekaligus sangat liberal" ke dalam bahasa Urdu. Penerjemahan ini adalah berkat kemampuannya yang sangat tinggi dalam bahasa Arab. Pada tahun 1915 keluarganya pindah ke Hyderabad. Di sini dia masuk madrasah Darul Ulum. Namun dia tidak mampu melanjutkan sekolah di tempat itu karena tak lama setelah mereka sampai di Hyderabad, ayahnya jatuh sakit. Enam bulan kemudian dia terpaksa meninggalkan Hyderabad menuju Bhopal untuk menemani ayahnya. Penyakit ayahnya yang berkepanjangan dan krisis finansial, telah memaksa Maududi untuk meninggalkan bangku sekolah dan harus menerima realitas hidup yang pahit. Dalam usia lima belas tahun, Maududi kecil sudah harus bisa menghasilkan uang lewat keringatnya sendiri.

2.      Konsep Negara Menurut Abul A’la Maududi

Pemikiran dan reformasi dari suatu keadaan akan selalu terjadi dimana saja, kapan saja dan dalam bentuk apa saja. Reformasi dalam konteks ini mempunyai ragam dan bentuknya, setidaknya ada tiga kecenderungan dari reformasi itu sendiri.
 Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan sistem dari abad-abad permulaan Islam sebagai sesuatu sistem yang benar dan tentunya setelah dibersihkan dari bid'ah, Kedua, kecenderungan dalam usaha untuk membangun kembali ajaran yang benar serta apabila dipandang perlu akan disesuaikan dengan pengertian-pengertian dan pemahaman-pemahaman kontemporer, disesuaikan dengan zaman dan kebutuhan yang dihadapinya, khususnya yang mencakup segi-segi agama, kesusilaan dan kemasyarakatan. Tentunya bagi mereka yang berupaya untuk memformulasikan sumber-sumber hukum Islam ke dalam realitas sosial serta disesuaikan dengan keadaan zaman yang selalu berkembang dan berubah, maka sangatlah dibutuhkan adanya ijtihad. Ketiga, kecenderungan dalam berpegang teguh kepada dasar-dasar ajaran Islam yang diakui pada umumnya, tetapi tidak menutup pintu bagi pandanganp-andangan baru yang biasanya datang dari Barat. [5]
Dari tiga kecenderungan itu, penulis ingin mengetahui konsep yang dibangun Abul A’la Maududi terhadap politik meliputi konsep negara atau pemerintahan dan tujuannya, dasar negara, demokrasi, struktur pemerintahan dan hukum menurut pandangan Maududi.
Dari pemikiran yang berawal dari pembenahan sistem itulah Maududi mempunyai idealisme yang tinggi yaitu menjadikan Islam “as way of life” (sebagai jalan hidup)[6] secara totalitas dan harus menjadi pijakan bagi manusia khususnya bagi ummat Islam.
Maududi menghendaki ummat Islam pada zaman modern ini apabila ingin kembali mengalami kejayaan dan keemasannya sebagaimana yang telah dilewati pada awal tradisi Islam, maka ummat Islam harus kembali kepada dua sumber hukum Islam (al-Qur'an dan as-Sunnah) secara mutlak serta mengembalikan system pemerintahan yang sedang dijalankan pada abad modern ini kepada sistem yang telah dibangun Rasulullah SAW dan Khulafa ar-Rasyidin.[7]
Maududi tidak menerima sistem pemerintahan yang sedang dijalankan pada zaman modern ini, ia selalu memperjuangkan simbol Islam, bahwa Islam harus diterapkan sebagai dasar negara karena menurutnya didirikannya suatu negara adalah sebagai manifestasi dan misi besar Islam dan beliau menolak demokrasi yang berpaham kedaulatan rakyat, maka sebagai alternatifnya ia menawarkan sistem kekhalifahan dengan paham kedaulatan Tuhan, manusia harus tunduk pada aturan Tuhan karena manusia hanya merupakan wakil Allah di muka bumi.
Tentang struktur pemerintahan, Maududi memandang bahwa struktur yang telah diterapkan oleh Rasulullah SAW dan Khulafa ar-Rasyidin adalah struktur pemerintahan yang dapat pula dijalankan di abad modern ini karena struktur itu merupakan struktur ideal yang dibangun di awal pemerintahan Islam. Oleh karenanya hukum atau undang-undang yang harus diberlakukanpun adalah syari'at Islam secara apa adanya sebagaimana yang dijalankan di awal tradisi Islam tanpa perlu adanya ijtihad karena Islam merupakan sistem yang komprehensif dan sesuai dengan situasi dan kandisi zaman. Dengan demikian, apa yang menjadi idealisme besar Maududi yaitu ingin menjadikan Islam kembali sebagai way of fife akan dapat direalisasikan.

3.      Pengaruh Dari Pemikiran Abul A’ala Al Maududi tentang Negara

Dari pemikiran yang telah di cetuskan oleh Abul A’ala Al Maududi tentang Pandangan dan pemikiran konsep negara berakibat munculnya  partai-partai politik yang bersaskan islam. Partai yang berasaskan islam itu menginginkan bahwa negara indonesia ini untuk menjadi negara islam dengan landasan apabila negara ini berlandaskan islam maka akan mencontoh perjuangan pada sahabat di zaman nabi.
 S­­ebagaimana halnya pemikiran politik Islam Maududi di Pakistan, pemikiran Politik Islam di Indonesia pun pada prinsipnya menghendaki tegaknya Syari'at Islam dan menjadikan Islam as way of life, di Indonesia ada beberapa partai ya­ng berasaskan islam yang mempunyai kecenderungan dalam gerakannya lebih pada modernis dan kompromis dengan idealisme Islam/ Islam wal-Muslimiin yang dalam implementasinya dapat disesuaikan dengan kebutuhan zaman yang selalu berubah.
Substansi dari ajaran Islam merupakan hal yang utama daripada simbol-simbol Islam itu sendiri, Ajaran Islam dapat disesuaikan dengan segala zaman. Oleh karenanya dalam rangka mencari solusi dari suatu hal yang baru diperlukan ijtihad dengan tetap mengacu kepada dua sumber hukum Islam yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah. Kedaulatan berada di tangan rakyat, karena system pemerintahan merupakan urusan yang bersifat mua'malah dan manusialah yang harus menjalankan system pemerintahan dari suatu negara.
C.    KESIMPULAN
Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Abul A'la Maududi dilahirkan pada tanggal 25 September 1903, yang bertepatan dengan 3 Rajab 1321 di Awrangabad.
2.      Konsep Negara menurut Abul A’ala Almaududi adalah Negara harus dibangun dengan mencontoh pemerintahan zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang senantiasa kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
3.      Pengaruh yang di timbulkan akibat dari pemikiran Abul A’la Al-Maududi adalah banyaknya partai-partai politik yang berasaskan islam yang beri’tiqat menjadikan Negara Indonesia berasaskan islam.




[1]  Mohamed Mahmud dkk, Pemikiran Islam, Erlangga, Jakarta, 2002, h. 107
[2] Depatemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar baru Van Hoeve : Jakarta, cet ix 2001 h 208.
[3] Ibid., 209
            [4] http://www.digilib.ui.edu/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=78204&lokasi=lokal
[5] Abdul Aziz, MA, Esai-esai Sosiologi Agama, Departemen Agama RI : Jakarta, 2003 h. 49
[6] Mohammed Mahmud dkk, Op.Cit., h.  110
[7] Farhan Daftari, Tradisi-tradisi intelektual islam, Erlangga : Jakarta, 2002 h. 296  

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ekonomi

Page Rank

Tags

Followers

Wahana Kreasi 4 Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template