Jumat, 17 Desember 2010

INTEGRITAS MORAL SISWA SEKOLAH DASAR DAN MENENGAH


INTEGRITAS MORAL SISWA
SEKOLAH DASAR DAN MENENGAH
Oleh : Adi Hasan Basri

A.    Pendahuluan
Dalam rangka menciptakan manusia pembangunan yang berpotensi dan berkepribadian baik, guna menumbuhkan sikap dan tekad kemandirian, maka diperlukan suatu pendidikan. Menurut  Ahmad D.  Marimba :  “Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan  jasmani dan rohani si  terdidik menuju terbentuknya  kepribadian yang utama”[1]
Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangan sumber daya manusia (SDM) secara optimal. Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pendidikan mulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat.
Salah satu SDM dalam pembangunan nasional adalah generasi muda. Generasi muda adalah  suatu generasi estafet pembaharu yang merupakan kader pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina dan dikembangkan secara terarah dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan sekolah. Beberapa fungsi penting pendidikan sekolah antara lain untuk : 1) pengembangan pribadi dan dan pembentukan kepribadian, 2) transmisi kultural, 3) integrasi sosial, 4) inovasi dan  5) pra seleksi dan pra alokasi tenaga kerja. Tugas pendidikan dalam hal ini adalah untuk mengembangkan segi-segi  kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dapat dikembangkan melalui pendidikan moral. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan sekolah di atas maka beberapa alasan perlunya pendidikan moral di sekolah antara lain : 1) Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang meliputi pikiran yang kuat, hati dan kemauan yang berkualiatas, seperti : memiliki kejujuran, empati, perhatian, disiplin, diri, ketekunan, dan dorongan moral yang kuat untuk bisa bekeja dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan hidup manusia. 2) Sekolah merupakan tempat yang baik dan kondusif untuk melaksanakan proses belajar mengajar. 3) Pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan SDM yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral.
Saat ini bangsa Indonesia tengah mengalami patologi sosial yang cukup kronis. Sebagian pelajar dan masyarakat telah tercerabut dari peradaban ketimurannya yang beradab, santun dan religius. Hal ini salah satu dari akibat dari pengabdopsian pengaruh peradaban barat tanpa seleksi yang matang. Di samping itu sistem pendidikan di Indonesia  lebih berorientasi pada pengisian kognisi dalam arti lebih mengutamakan peningkatan intelegence quetiont (IQ), kurang memperhatikan perkembangan emotional quetont  (EQ). Bahkan warisan terbaik bangsa kita berupa tradisi spritualitas berupa spritual quetion (SQ) yang tinggi, juga mulai tergeser. Akibat dari rendahnya EQ da SQ pada siswa dan masyarakat memunculkan beberapa masalah sosial dan moral di Indonesia antara lain : 1) meningkatnya pemberontakan remaja sebagai tanda dekadensi etika serta sopan santun pelajar, 2) meningkatnya ketidakjujuran, seperti suka membolos, menyontek, tawuran, bahkan mencuri,  3) berkurangnya rasa homat terhadap orang tua, guru, orang yang lebih tua dan sosok yang berwenang, 4) meningkatnya kelompok teman sebaya yang kejam dan bengis,   5) munculnya sikap fanatik dan penuh kebencian,  6) berbahasa tidak sopan, 7) merosotnya etika kerja, meningkatnya sifat-sifat mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara, timbulnya perilaku yang merusak diri, misalnya penyalahgunaan narkoba, seks bebas  dan bunuh diri, 10) timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras, tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah.
B.     Pembahasan
Dari sudut pandang orang dewasa siswa sekolah dasar dan menengah umumnya dinilai sebagai anak yang berkemampuan moral sebagai berikut : [2]
Pertama : kurang disiplin, dalam arti kurang tepat waktu, kurang sunguh-sungguh dalam belajar dan mengjar cita-cita, kurang santun dan taat pada perintah agama atau adat istiadat yang di junjung tinggi masyarakat.
Kedua, bebas, protes, kreatif, dan realistis. Orang dewasa menilai mereka sebagai anak yang bebas, berai membantah, mudah berubah dan putus asa. Apalagi anak yang datang dari keluarga kaya dan manja. Tetapi diakui bahwa anak zaman sekarang lebih berani dan penuh kreatifitas. Mereka memiliki cara tersendiri untuk rasa cinta dan hormat kepada orang yana lebih tua.
Ketiga, solidaritas konco dan main keroyokan. Orang dewasa menilai siswa SD dan SLTP nudah sekali tersulut dalam baku hantam di antara mereka sendiri. Suka mencoret-coret dinding dengan kata-kata yang asing yang menunjukan dirinya sebagai pahlawan. Namun demikian mereka menunjukan solidaritas yang sangat tinggi dengan sering membela dan melindungi antar sesama teman, saling tukar pakaian, saling menolong, mentraktir jajan, meminjamkan kendaraan, sera buku-buku pelajaran.
1.      Nilai dan Moral
Nilai adalah harga, hal-hal yang berguna bagi manusia[3]. Menurut I Wayan Koyan (2000 :12), nilai adalah segala sesuatu yang berharga. Menurutnya ada dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah nilai-nilai yang menjadi cita-cita setiap orang, sedangkan nilai aktual adalah nilai yang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari. Kohlberg mengklasifikasikan nilai menjadi dua, yaitu nilai obyektif dan nilai subyektif.  Nilai obyektif atau nilai universal yaitu nilai yang bersifat intrinsik, yakni nilai hakiki yang berlaku sepanjang masa secara universal. Termasuk dalam nilai universal ini antara lain hakikat kebenaran, keindahan dan keadilan. Adapun nilai subyektif yaitu nilai yang sudah memiliki warna, isi dan corak tertentu sesuai dengan waktu, tempat dan budaya kelompok masyarakat tertentu.
Pendidikan nilai dapat disampaikan dengan metode langsung atau tidak langsung. Metode langsung mulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik sebagai upaya indoktrinasi berbagai ajaran. Caranya dengan memusatkan perhatian secara langsung pada ajaran tersebut melalui mendiskusikan, mengilustrasikan, menghafalkan, dan mengucapkannya. Metode tidak langsung tidak dimulai dengan menentukan perilaku yang diinginkan tetapi dengan menciptakan situasi yang memungkinkan perilaku yang baik dapat dipraktikkan. Keseluruhan pengalaman di sekolah dimanfaatkan untuk mengembangkan perilaku yang baik bagi anak didik
Strategi tunggal dalam pendidikan nilai sudah tidak cocok lagi apalagi yang bernuansa indoktrinasi. Pemberian teladan atau contoh juga kurang efektif diterapkan, karena sulitnya menentukan siapa yang paling tepat untuk dijadikan teladan. Istilah komprehensif yang digunakan dalam pendidikan nilai mencakup berbagai aspek.Pertama, pendidikan nilai harus komprehensif meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan nilai, mulai dari pilihan nilai-nilai yang bersifat pribadi sampai pertanyaan-pertanyaan mengenai etika secara umum.Kedua, metode yang digunakan dalam pendidikan nilai juga harus komprehensif. Termasuk didalamnya inkulkasi (penanaman) nilai, pemberian teladan, dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggungjawab dan keterampilan-keterampilan hidup yang lain.
2.      Pendidikan Anak Usia Dini
Dalam melakukan pendidikan hendaknya jelas tujuan dari pada pendidikan tersubut. Adapun tujuan melakukan pendidikan bagi anak usia dini diharapkan mampu tertanam jiawa atau akhlak yang baik. Tentu saja kita semua menginginkan kepribadian siswa yang baik sehingga prestasi juga akan menjadi baik .Menurut Zakiah Daradjat kepribadian yang baik adalah : “ Tingkah laku atau sikap mental yang sehat dan akhlak yang terpuji”. [4]
Pembinaan  kepribadian siswa  merupakan proses yang panjang dan  berkesinambungan  dari sebelum sekolah,  Sekolah SD,  SLTP, SMU, bahkan  sampai kuliah nanti. Usaha pembinaan  ini melalui pendidikan tersebut sangatlah  menentukan.
Usaha ini dengan pembiasaan-pembiasaan dan latihan yang teratur dan terus-menerus sehingga lambat laun kepribadian anak bertambah kuat dan akhirnya  menyatu dengan jiwanya. Sebagaimana pendapat Zakiah Daradjat ; ” Latihan-latihan keagamaan  yang menyangkut ibadah  seperti  sholat, doa, membaca Al Qur’an  yang  dibiasakan  sejak kecil sehingga lama-kelamaan  akan tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut”[5]
Atas dasar uraian  tersebut di atas maka pembinaan kepribadian siswa yang diadakan kerjasama antara orang tua dengan guru Pendidikan Agama Islam, hendaklah menjadi salah satu program yang penting dalam pelaksanaan  pendidikan di sekolah, karena anak-anak  tersebut sebagai  generasi penerus,maka hendaklah  sedini mungkin  jika kita ingin merubah keadaan sekarang ini agar menjadi yanglebih baik, Firman Allah SWT :   


Artinya : Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Q.S. Ar Raad : 11)[6]
Dari ayat tersebut diatas dapat kita ambil pengertian bahwa., Allah SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum atau keadaan seseorang kalau mereka sendiri tidak mau untuk merubahnya. Jadi guru Pendidikan Agama Islam dan orang tua dalam bekerjasama haruslah dalam usaha untuk merubah keadaan  anak didik supaya keadaan kepribadiannya menjadi lebih baik. Usaha tersebut tentu saja dengan melalui dengan pendidikan agama, nasehat-nasehat sehingga dapat mengarahkan kepribadian anak kearah perkembangan kepribadian yang baik sehingga anak akan menjadi anak yang sholeh dan sholekhah sesuai dengan harapan orang tua, guru Pendidikan Agama Islam dan guru lainnya serta masyarakat.
Dalam UU No. 23 Tahun 2000 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah salah satu upaya pembinaan yang ditujuak untuk anak sejak lahir sampai dengan 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut (Pasal 1 butir 14).
Pendidikan untuk anak usia dini (0-8 tahun) merupakan pendidikan yang memiliki karakteristik berbeda dengan anak usia lain, sehingga pendidikannya pun perlu dipandang sebagai sesuatu yang dikhususkan. Pendidikan anak usia dini di negara-negara maju mendapat perhatian yang luar biasa. Karena pada dasarnya pengembangan manusia akan lebih mudah dilakukan pada usia dini. Bahkan ada yang berpendapat bahwa usia dini merupakan usia emas (golden age) yang hanya terjadi sekali selama kehidupan seorang manusia.
Apabila usia dini tidak dimanfaatkan dengan menerapkan pendidikan dan penanaman nilai serta sikap yang baik tentunya kelak ketika ia dewasa nilai-nilai moral yang berkembang juga nilai-nilai moral yang kurang baik. Oleh karena itu pendidikan anak usia dini adalah investasi yang sangat mahal harganya bagi keluarga dan juga bangsa.Anak-anak merupakan generasi penerus keluarga sekaligus generasi penerus yang akan meneruskan estafet perjuangan para pendahulu kita. Betapa bahagianya orang tua yang melihat anak-anaknya ”berhasil”, baik dalam pendidikan, berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam berkarya untuk bangsa.
3.      Pendekatan dan Metode Dalam Penanaman Nilai moral Kepada Anak Usia Dini
Metode dan pendekatan seringkali digunakan secara bergantian, bahkan keduanya seringkali dikaburkan atau disamakan dalam penggunaannya. Keduanya sebenarnya memiliki sedikit perbedaan yang bisa dijadikan untuk memberikan penegasan bahwa kedua istilah tersebut memang berbeda.
 Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta edisi III pendekatan memiliki arti hal (perbuatan, usaha) mendekati atau mendekatkan.[7] Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pendekatan setidaknya mengandung unsur sebagai suatu kegiatan yang meliputi: proses perjalanan waktu, upaya untuk mencapai sesuatu, dan dapat pula memiliki ciri sebagai sebuah jalan untuk melakukan sesuatu.
Terkait dengan hal tersebut di atas, tepat kiranya sebagai pendidik ataupun orang tua memahami bahwa untuk menyampaikan sesuatu pesan pendidikan diperlukan pemahaman tentang bagaimana agar pesan itu dapat sampai dengan baik dan diterima dengan sempurna oleh anak didik. Untuk mencapai ketersampaian pesan kepada anak didik tentunya seorang pendidik atau orang tua harus memiliki atau pun memilih keterampilan untuk menggunakan pendekatan yang sesuai dengan pola pikir dan perkembangan psikologi anak.


                [1] Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Agama Islam. (Bandung : PT. Al Ma’arif, 1981), h.19
                [2] Prof DR. Mastuhu, M.Ed, Memberdayaka sistem pendidikan Islam, Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 1999, h 137
                [3] P W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1976, h. 492
[4]  Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h.59                             
                [5] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama,(Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h.63
                [6] Departemen AgamaRI , Al Qur’an  dan Terjemahnya, (Jakarta: PT Intermasa, 1993),  h.370
                [7] W.J.S. Poerwadarminta Kamus Umum Bahasa Indonesia, edisi III (Jakarta, Balai Pustaka, 1976), h. 45

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ekonomi

Page Rank

Tags

Followers

Wahana Kreasi 4 Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template